Alhamdulillah masih bisa ketemu di #30daysblogproject ke-9 :'D
ini udah deadline banget yak (ini jam setengah 11 WIB di tanggal 12 Juli), sebenernya mau nulis dari pagi tapi karena judul yang terjadwal terasa serius jadi gak jadi-jadi nulis~
Tapi ini adalah suara pikiran yang sudah lama terpendam, jadi lanjutlah :)
Kalau kalian baca prosa di dua hari sebelum ini, mungkin terasa rada aneh ya. Yap karena mungkin kondisinya gue sedang meledak-ledak. Gue nulis prosa itu karena baru aja baca sebuah posting blog yang sedikit membahas tentang lika-liku mendidik anak. Salah satu hal yang dia kritisi adalah bahwa sulitnya mendidik anak di masa kini adalah sesuatu yang harus dihadapi.
Apa maksudnya di masa kini?
Masa kini yang dimaksud adalah masa di mana internet menawarkan suguhan secara bebas dan tidak semuanya dapat dipegang pertanggungjawabannya.
Lantas apa maksudnya dihadapi?
Penulis berpendapat bahwa membatasi penggunaan internet dengan safety mode (yang sekarang bisa dibuat untuk melindungi anak dari konten 'dewasa') adalah hal yang tidak efektif. Karena pada akhirnya anak akan selalu punya cara untuk mengakses konten-konten tersebut. Maka menghadapi yang ia maksud adalah dengan memberikan kesempatan untuk anak meng-expore informasi, dan orang tua yang membimbing anak tentang 'dunia di luar sana', tentang baik dan buruknya suatu hal, dan tanpa menutup-nutupi. Itu sih yang gue tangkep.
Gue awalnya cuman "ooh gitu". okey.
Masa kini adalah masa di mana dunia sudah ada di genggaman kita semua, tanpa terkecuali anak-anak. Dulu mungkin itu aneh. Dulu mungkin masih banyak yang nyinyir dan nyindir "anak-anak kok udah main hp" or else. Zaman sekarang mainan balita juga ada di play store. Zaman dulu kalau belajar ngaji cuman di TPA, sekarang anak soleh mau belajar mengaji bisa difasilitasin tab.
Dan itu wajar karena bumi berputar, itu wajar karena masa pun terpelajar.
Lalu setelah baca posting itu. Gue buka youtube. Lalu gue sedih.
Ceritanya lagi iseng buka yang kekinian. Lalu yang gue dapatkan adalah kekecewaan. Kecewa karena justru yang kekinian sedang booming pula di kalangan anak-anak. Sayang kontennya bukan untuk dikonsumsi anak-anak.
Lalu gue kepikiran postingan tadi. Lalu gue bertanya pada diri sendiri "kalau udah kayak gini setuju gak Han?". Saat itu gue merasa kecewa, dan saat itu kekecewaan itu gue tuliskan dalam prosa.
Gue tidak tahu apakah gue setuju atau tidak dengan cara penulis blog mendidik anak. Karena bagi gue parenting adalah sesuatu yang lebih dari sekedar idealisme -- kita akan selalu ingin orang yang kita bentuk menjadi ideal (bagi kita) sementara yang kita bimbing adalah makhluk bernyawa yang punya akal dan terpapar faktor eksternal.
Maka gue mulai bertanya-tanya.. "kalau udah gini salah siapa?"
Kita marah melihat berita di mana-mana:Itu cuplikan prosa yang gue tulis. Dan itu terjadi pada gue. Ketika suatu kabar (dalam konteks ini video youtube) membuat gue gelisah, gue yang kecewa pun malah nanya sesuatu yang (menurut gue) gak urgent: "ini salah siapa?"
Tawuran antarpelajar
Korupsi
Kemacetan
Sistem pendidikan yang riweuh
Harga yang melangit
Hutan yang kian membotak
Pelecehan seksual
Narkoba
Kecelakaan lalu lintas
...
...
...
Lalu sibuk menyalahkan
Menyalahkan mereka yang berdasi
Menyalahkan para pendidik
Menyalahkan Orang tua yang tak bisa mendidik
Menyalahkan televisi
Menyalahkan YouTube
Menyalahkan siapa saja yang bisa disalah-salahkan
Mudah ketika kita ingin menyalahkan apapun. Selalu ada yang bisa disalahkan. Dalam konteks ini kita bisa saja menyalahkan anak-anak yang megakses video tanpa menjaringnya terlebih dahulu. Bisa saja menyalahkan orang tua yang gak bisa mendampingi anak untuk selektif memilih tontonan. Bisa saja menyalahkan pembuat video yang salah pasar ketika membuat video dengan konten (yang bagi saya adalah untuk) 17+.
Bisa saja. Tapi apakah cara termudah ini adalah cara yang solutif?
Hasil dari "penyalahan" seringkali adalah "pembenaran".
Maka mudah saja untuk si anak, si orang tua, ataupun si pembuat video memberikan pembenaran. Dalam imajinasi gue pembenaran itu seperti ini:
"aku kan cuman nonton video lagian aku gak tau kalau isinya kayak gini" ujar si anak.
"Saya juga gak 24 jam sama si kakak, bisa aja dia tau yang kayak gitu dari temennya" ujar si ortu.
"Gue kan cuman bikin video. ya kalau ternyata yang nonton anak-anak ya bukan salah gue kan? kenapa gak anaknya aja yang search barney, kenapa harus kanal gue?" ujar si pembuat video.
Mudah saja.
Bagi gue, perihal pendidikan ini bukan sesuatu yang cukup diselesaikan dengan mengusut "ini-salah-siapa?" melainkan adalah sesuatu yang harus kita bangun bersama. Ini bukan hanya urusan orang tua, urusan sekolah, atau institusi pendidikan lainnya.. tapi juga urusan masing-masing diri kita.
Kita paham bahwa sejatinya anak-anak disekeliling kita kelak pun akan jadi remaja lalu dewasa. Bisa saja anak yang kita tanya "kamu namanya siapa? umur berapa? udah sekolah belum?" di perjalanan pulang tadi sore, adalah ia yang bakal membantu kita membangun bisnis di masa depan. Pun mungkin juga anak yang tadi pagi kita temui sedang ngomongin 'pacar-pacaran' dengan temannya yang satu TK, ternyata kelak adalah atasan kita di kantor.
"Maka mau jadi apa negeri ini?" mungkin dapat terjawab dari bagaimana kita memperlakukan mereka. Dalam era ini, berarti juga mencakup bagaimana kita berkarya. Kita tahu bahwa internet menawarkan limit yang limitless, maka cobalah masukkan anak-anak dalam list pertimbangan pasar kita, atau paling enggak pasar-yang-gak-sengaja. Jika memang pada akhirnya style karya kita tidak bisa friendly untuk anak-anak, coba berikanlah suatu arahan bagi mereka (seperti peringatan batas usia, atau lainnya).
Perlakuan lain bagi anak-anak yang harus kita pertimbangkan juga cara kita berbicara, cara kita bertindak, dan lain-lain. Bagi mereka, pacaran mungkin menjadi hits karena kalau ketemu sama kakak-kakaknya diledekin "ih adek jomblo" atau ditanya "adek udah punya pacar?". Bagi mereka mungkin ngerokok dikala belia biasa aja toh kakaknya juga ngerokok. Tapi apakah masa kecil yang seperti itu yang ingin kita bangun di kehidupan kanak-kanak orang-orang sekitar kita?
kalau ungkapan "tiap-tiap kita adalah pemimpin" udah terpatri dalam agenda motivasi. Maka mungkin ini saatnya mematri ungkapan baru bahwa "tiap-tiap kita adalah pendidik."
karena bisa jadi tiap gerak-gerik dan kata-kata kita adalah sesuatu yang ditiru orang lain, khususnya anak-anak.
Flamboyan
12 Juli 2016
Triana
No comments:
Post a Comment