Thursday, November 15, 2012

DelunaDetra part 1


“Herman!”
Aku memanggil mu dalam sebuah senja di Bulan Juni. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Orang-orang berlalu lalang tampak sibuk menggeledah sudut-sudut jalanan. Sementara nyamuk-nyamuk mulai berganti shift jaga. Aku mengulangi panggilanku kembali, karena kamu nampaknya masih mencari-cari  pemilik suara yang memanggilmu. Lalu kau tampak terkejut melihatku di kejauhan. Lantas memasang raut wajah yang tak mampu ku tafsirkan. Namun aku percaya, kesamaan kita berdua sekarang ini adalah: rindu.
“ Detra kan?” Tanya Herman. Aku membalas dengan anggukan kecil, karena sebagian besar tenaga dalam diriku sudah terkuras habis untuk merasa bahagia.
“Oh hai! Gue gak nyangka bakal ketemu lo di sini, mana lagi kucel gini lagi. Eh kok lo diem ajasih? Kirain muka gak berubah kelakukan juga gak berubah, taunya sekarang jadi diem?” Herman melontarkan tanya. Sedangkan aku hanya mampu tersipu. Skenario percakapan yang kuciptakan selama 3 tahun ini hancur sudah. Kalimat-kalimat yang kurangkai dan ku hapal tiap malam tak mampu ku ucapkan barang sepatah saja. Aku kini mati gaya. Telak.
      “Det? Senyam-senyum aja. Ngeliat apasih? Bidadari jatoh? Aih gak mungkin lah pasti ngeliat pangeran jatoh dari langit? Iyakan? Iyalah kan itu gue. WOY DETRA!”
      “EH IYA IYA NYANTAI PAK NYANTAI,” ujar Detra gelagapan setelah bangun dari lamunannya.
      “Nah gitu kek dijawab. Hampir gue kutuk lo jadi logo sereal bergizi. Eh iya det.. Nanti lagi deh kita ngobrol.. perasaan gue gak en..”
     “Haduh Mas Mbak lah kok malah ngerumpi, ayo balik ke kerjaan masing-masing! Ini bentar lagi gelap loh ayo sono selesain dulu kerjaannya!” Ujar Pak RT dari kejauhan. Aku mengangguk tanda setuju. Herman pun kembali mengambil sapu dan pengki lantas berlalu dalam ramai kerja bakti bulanan, masih dalam senyum yang sama. Sama seperti ketika ia berbalik barusan. Sama seperti 3 tahun yang lalu saat ia harus pergi. Sama seperti dulu saat semua ini bermula. Herman. Alasanku mampu percaya.
***
      Bel tanda masuk berdering seakan menyambut pagi. Aku masih bertahan di kursi baris ke-2 persis di pojok dekat jendela. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Yang berbeda hanyalah aku tak lagi sekelas dengan Reda, teman sebangku ku sejak kelas 1. Kalau saja bapaknya Reda tidak memberikan ‘permintaan khusus’ pada pihak sekolah pasti kini bangku di sampingku tidak akan kosong. Tapi akupun sadar, ketidakadaan Reda disampingku kini juga karena aku telah membuat orang tuanya khawatir habis-habisan. Karena sejak mengenalku hampir setiap sore Reda pulang terlambat karena ku ajak kelayapan. Aku tahu Reda tidak keberatan menemani ku ‘sebentar’ sepulang sekolah, toh baginya ini suatu keuntungan agar ada orang yang mau menghabiskan bekal makan siangnya yang harus habis.
     Aku pun menarik napas pelan. Berharap  ada anak lain yang tergerak hatinya atau sekedar kasihan melihat seorang anak perempuan kelas 4 SD yang duduk sendirian, bersandar pada tembok keras dan dingin, dan hanya mampu menatap lekat ke luar jendela. Menatap pemandangan yang hanya terdiri dari tembok bata.
    “Selamat pagi anak-anak,” sapa seorang perempuan di depan kelas.
    “Nama saya Bu Lana, saya adalah wali kelas kalian di kelas 4 ini,” katanya meyakinkan. Kami se-kelas hanya manggut-manggut.
    “Nah, sekarang kita akan saling berkenalan. Nanti kalian sebutkan nama lengkap dan nama panggilan kalian satu persatu. Tapi sebelumnya, kamu yang dipojok belakang, coba kamu pindah ke depan. Ya, di baris 2 masih ada yang kosong,” ujar bu Lana sembari menunjuk Herman yang hobi duduk di pojok belakang.
     “Tapi bu, masa saya duduk sama anak perempuan?” Tanyanya. Anak-anak se-kelas pun serentak tertawa mendengar pertanyaan itu.
     “Heh, sudah-sudah, siapa nama kamu?”
     “Herman, bu!”
     “Nah, Herman. Karena jumlah anak di kelas ini genap, dan kamu duduk sendirian jadi mau gak mau ya kamu harus duduk disitu. Ibu yakin teman sebangku kamu gak gigit kok,”
     “Emang ibu udah jinakin bu?” Celetuk Eros. Eros adalah salah satu teman sekelasku yang punya kegemaran nyeletuk. Entahlah kegemaran macam apa itu.
     “Oh tentu! Kamu gak tahu kan siapa yang punya peternakan?”
     “Nggak bu,” jawab teman sekelasku serentak.
     “Ya ibu sih juga gak tahu,” jawab Bu Lana asal. Serentak seluruh anak tertawa. Herman pun akhirnya memindahkan tasnya ke sebelahku. Harapanku kala itu terjawab sudah. Akhirnya aku punya teman sebangku, walaupun kami sama-sama terpaksa menerimanya. Kini sebelahku bukan hanya tembok keras yang dingin, di sisi yang lain ada sesosok manusia yang membawa kehangatan. Kehangatan yang membekas dan melebur bersama waktu.

 Bersambung kapan-kapan.


:) hana masih pemula. tolong kasih saran ya teman-teman! Terimakasih :) YEAY!

Saturday, November 10, 2012

cerita sabtu


:)


Seinget gue, gue pernah membaca suatu cerita yang jadi inspirasi untuk nulis ini (kata-katanya beda hehe). Tapi untuk sumbernya sendiri gue lupa. Kalau suatu saat gue membaca ulang dan inget, mungkin akan gue cantumkan sumber asli yang jadi inspirasi untuk nulis ini. Siapapun yang menulis ini pertama kalinya... aku suka~ :)

Tumbuh

Gue sempat tertawa mendengar salah satu jeda komersial di tv yang ceritanya ada orang nanya ke anak kecil "cita-citanya jadi apa?" dan dia menjawab "jadi kecil...hehe kayak semut." :)

dan sebelum menertawakan hal ini  (atau mungkin setelahnya) gue sedang berpikir tentang tumbuh dan berkembang. dari 7 ciri-ciri makhluk hidup, mungkin ini adalah faktor yang membawa gue (dan tentu saja orang-orang sekitar gue) ke dalam problema yang berbeda, lebih rumit, dan tentunya lebih... Sangar. 

eh gak sangar juga deng


Gue sempet sakit minggu lalu. Menurut cerita, katanya gue pulang mukanya udah gosong bukan merah lagi. Menurut cerita katanya gue panas banget sampe dikasih obat penurun panas, 2 sekaligus. Menurut gue itu sakit yang udah lama gak gue rasain. Oke gue gak mau menceritakan se-sakit apa gue karena percuma ae gue sudah sehat bugar dan jayus kembali. Tapi pas sakit itu gue sempet kepikiran sesuatu.. gue mengalami tumbuh dan berkembang.

Gue juga heran kenapa bertambah besar malah menjadi pikiran. Dulu waktu kecil pengen banget cepet besar, pengen bebas, pengen gak dimanjain lagi. Tapi sekarang gue baru 15 tahun dan gue baru saja sadar: tumbuh dewasa itu konsekuensi. Maka bersama waktu kita harus bisa mendewasakan diri, maka bersama waktu kita harus bisa memperbaiki diri, maka bersama waktu kita harus belajar.

Sakit yang gue alami mengajari gue beberapa hal. Dulu waktu kecil kalau sakit kayaknya ditungguin sampe sembuh, dijagain terus, dikit-dikit dicek. meskipun gue memang tidak membutuhkan perhatian se-intens itu untuk umur segini, tapi rasanya ada yang beda. dan gue akhirnya sadar semuanya gak lagi sama. Tumbuh dewasa itu berarti harus lebih mandiri.

Beberapa waktu sebelumnya gue juga sadar sesuatu. pas gue sedang menyimak dongeng pagi--seperti biasanya. Gue mulai sadar bahwa gue sudah mulai terlalu realistis. Oke, mungkin agak lebay kalau gue bilang 'terlalu realistis' tapi nyatanya semakin besar gue merasa semakin banyak menyangkal, semakin banyak menghapus imajinasi menjadi sesuatu yang lebih realistis.

Semakin dewasa maka ekspetasi orang bahwa kita sudah bisa meminum obat kapsul bertambah. Sehingga puyer dan obat sirup dihapus dari resep dokter.

Semakin dewasa maka kita tak lagi hanya menimbang tentang warna dan bentuk sebelum membeli sesuatu, tapi harga, kebutuhan, keuangan, kesegaran, dan faktor lain menjadi penentu.

Semakin dewasa maka kita tak lagi hanya tertarik akan gambar pada buku-buku tebal, tapi tulisan, alur, cerita, penokohan, dan emosi membawa kita hanyut di dalamnya.

Sebagian orang mungkin menyesal tumbuh dewasa, sebagian lagi menikmatinya dengan sungguh-sungguh. Bagi gue pribadi, penyesalan yang gue tulis diatas bukan untuk diratapi, tapi untuk 'mambangunkan' kesadaran gue bahwa "lo akan terus tumbuh dewasa bersama waktu, lo akan terus menghadapi tantangan baru, dan mau gak mau lo harus siap untuk tumbuh." maka bagi gue, sepertinya kita harus siap mendaki hidup bersama waktu, dan terus terjaga.


EEEH GUE BARU 15 TAHUN TAPI....!


ya gapapa lah.. mengantisipasi apa yang akan datang mungkin membantu juga. bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati?


"kita kan sudah berumur..
15 tahun" -Teman satu kelas gue

#end
Triana





lawakan gagal:

Country.

Dl: *main gitar*
D: eh itu lagu country ya?
H: hee lagu country kan lagu negara
D: .........