Monday, March 15, 2021

Twinkle twinkle little star

 Assalamu'alaikum,

Lately, I've feel an urge to tell stories about myself.

Sesuatu yang aneh buatku haha. Memang sebenarnya normal saja ya ketika kita banyak ingin berbagi tentang diri kita. Dan akupun buka tipikal orang yang tertutup rapat, tidak sulit membuatku bercerita tentang semesta dunia ku. Tapi biasanya aku punya kendali untuk memilah dan untuk bersabar. 

Seperti banyak orang lainnya, aku sebenarnya suka dan ingin sekali berbagi banyak hal tentang kehidupan ku. Tentang aktivitas yang aku lakukan, tentang teman-teman yang aku shayang, tentang lagu yang aku sedang putar berulang-ulang, dan lain sebagainya. Tapi mostly aku berusah mengerem itu semua, pertama karena aku merasa hidupku ga sepenting itu untuk diketahui orang lain haha. Kedua, karena aku ngerasa ga bermanfaat aja wkwk, apalagi kalau ceritaku malah men-dzolimi orang. Ketiga, karena menjadi orang yang berlapis-lapis adalah caraku mempertahankan keutuhan diri. Kadang aku bisa merasa hampa bgt ketika kebanyakan menceritakan tentang diriku, seakan aku kehilangan tamengku yang terdiri dari lapisan kabut.

Tapi akhir-akhir ini, perasaan itu mengguncangku. Aku ingin bercerita tentang diriku pada sekelompok orang tertentu. Sayangnya, urgensi itu hanya jatuh pada pihak ku. Hehe apakah ini rasanya cinta bertepuk sebelah tangan~ ets, tidak ya kawan2, ini bukan soal percintaan wkwk.

Jadi.. baiklah!

Aku paham ujung-ujungnya aku akan memilih bersabar saja sampai waktu yang tepat. Ketika urgensi itu sudah jatuh pada kedua pihak. Atau mengalir begitu saja dalam derasnya realita.

Tapi anyway, to make my mind clearer sepertinya aku akan banyak bercerita di sini!

Bear with me ya :)

Friday, March 5, 2021

Self-Counseling Session

 Assalamu'alaikum!

Siapa yang di sini punya kebiasaan untuk menerjemahkan emosi diri?

Itu aku!

hehe


Setelah punya lebih banyak teman, aku baru mengerti kalau orang menyikapi emosinya dengan cara yang beragam. Ada yang harus mengekspresikannya, ada yang pintar menyimpannya rapat-rapat, ada yang sekadar harus dituangkan dalam cerita, atau memilih untuk tidak ambil pusing tentangnya. 

Tapi bagiku, emosi ku harus diterjemahkan. Dipereteli hingga akar-akarnya. Engga selalu harus disampaikan, aku cuman ingin tahu apa yang sebenarnya aku rasakan.

Mungkin dahulu kala, mekanisme itu aku gunakan untuk bisa retas di dunia. Agar cepat-cepat tahu apa yang harus aku lakukan untuk mengatasi masalah. Tapi lama-kelamaan ia jadi kebiasaan. Ketika pikiranku sedang begitu gelisan atau mengawang-awang, pertanyaan dari hati "kamu kenapa Han? ayo sini cerita" adalah kata-kata yang membuat ku kembali berpijak. Paling tidak saat itu aku ingat bahwa ada yang sedang tidak beres di semesta pikiranku.

Setelah pertanyaan pertama itu tiba, aku biasanya termenung beberapa saat. Sibuk mencari tahu "apa ya penyebabnya?", lalu kami saling bercerita tentang kemungkinan-kemungkinan yang kami duga menjadi sumber permasalahan. Haha mungkin terdengar aneh ya, since sebenernya kalau kita emosi tuh kan ya jelas penyebabnya apa, biasanya sesuatu yang baru banget terjadi. Tapi engga selalu gitu dalam kasus ku.

Misalnya ketika aku menangis setelah kena omelan, kadang aku menangis bukan karena diomeli orang, tapi bisa jadi karena rasa bersalah yg timbul akibat kesalahan ku atau bisa juga karena perasaan yang timbul karena tidak diapresiasi. Maka buatku, solusinya bukan melupakan omelan-omelan tersebut atau meminta orang tersebut untuk engga ngomel lagi di masa depan, tapi justru memperbaiki kinerja ku (biar ga merasa bersalah lagi hehe) atau lebih sabar perihal apresiasi (buatku, bisa dengan lebih banyak self-appriciation dan lurusin niat aja mahh haha).

Tapi hal ini gak selalu berjalan mulus. Seringkali, kami juga salah menerjemahkan perasaan. Kami sama-sama tahu, gak semua urusan hati bisa dirasionalisasi. Apalagi di saat-saat aku gak sanggup jujur sama diriku sendiri.

Untuk seseorang yang mengedepankan perasaan, kayak aku hehe, rambu-rambu tentang apa yang sedang ku rasa ini penting adanya. Kalo gak nanti mutung berhari-hari hanya karena ada emosi yang belum selesai dijawab. Memang, untuk ku, gak semua emosi harus diekspresikan atau dibicarakan pada orang lain. Tapi paling tidak ia sudah ku tuangkan di bilik konseling di dalam kepala ku.

-Triana



Tuesday, March 2, 2021

Harapan

 Februari kemarin, usiaku tepat 24 tahun

Wow memasuki usia yang sangat strategis. Belum terlalu tua untuk bermimpi dan tidak terlalu muda untuk mewujudkannya. Figur ku di umur segini juga yang aku sejak dulu khayalkan. Di benak ku dahulu kala, Hana di umur 24 mengenakan kaus, kemeja kotak-kotak yang tidak dikancing, celana jins, dan sedang berjalan ke sana ke mari mencari bahan berita. Hehe baru ngeuh, aku kok dulu gak bermimpi jadi pejabat atau apa gitu yang kerjanya gak panas-panasan :) Di benak ku dulu, perjuangan itu romantis pisan.

Ternyata kenyataannya gak seperti itu adanya. Aku sepertinya gak akan berpakaian kayak gitu, karena kini lebih prefer pakai rok kemana-mana wakakak. Aku juga gak ke sana kemari mencari berita, tapi aku tetap menulis berita dengan mencari informasi di internet wkwk. 

Tapi sejauh apa pun mimpiku dahulu dengan kenyataan yang sekarang, aku gak merasa jadi orang yang bermimpi dengan sia-sia. Aku ingat betul mimpi-mimpi ku aku bawa ke dalam doa-doa (kecuali tentang gaya pakaian, itu gak masuk ke doa sih wkwk). Dan kadang, di sela-sela aktivitasku yang kadang suka terlihat random banget, aku baru sadar: MasyaAllah ini kan do'a ku dahulu kala!

Misalnya, aku dulu pingiiin banget jadi jurnalis. Emang sih aku gak pernah dapet titel serupa, tapi ternyata Allah posisikan aku jadi content writer ceritaiklim. Dan kerjaannya seperti yang ku damba ketika dulu pengen jadi jurnalis! 

Misalnya, aku pernah berdoa ingin jadi ustadzah. Sebenernya aku dulu berdoa setengah hati saja, karena ibu pernah bilang "kamu jadi ustadzah aja" tapi aku dulu gak mau hehe. Tapi bertahun lalu aku dapet kesempatan ngajar anak-anak di suatu pesantren dan dipanggil ustadzah haha. Sekarang InsyaAllah mau kok! mari kita pantaskan diri belajar yaa~

Dan masih banyaaaaaak banget pertolongan Allah yang aku rasakan. Yang aku malu adalah, seringkali aku gak ngeuh bahwa nikmat atau ujian yang aku rasa adalah cara Allah mengabulkan do'aku. Seringkali aku tenggelam dalam perasaan, lupa kalau segala yang Allah suguhkan adalah apa yang terbaik adanya.

Maafin Hana ya Allah :")

Lewat tulisan ini, aku mulanya ingin bercerita tentang apa yang berubah di usia 24.

Yaitu tentang bagaimana aku berharap.

Tentu saja harapan ku banyak sekalii. Tapi kini, ketika melantunkan doa, tubuh dan pikiranku berada di posisi lebih siaga. Bukan karena aku gak percaya Allah akan mengabulkan harapan, justru karena aku yakin banget Allah Maha Mengabulkan Doa. Siaga itu datang karena aku tahu doaku akan terkabul bersama sederet konsekuensi yang aku harus siap untuk memikulnya. 

Misalnya saja, ketika aku berdoa "Ya Allah, tolong tambahkan rizki ku". Maka konsekuensi logisnya aku harus bisa lebih pintar mengelola rizki yang Allah kasih.

Dan sebagainya :)

Yang jadi catatanku di sini, dear all readers dan aku di masa depan. Jangan pernah berputus asa mencari rahmat Allah. Kasih sayang Allah tuh canggih luar biasa, maka kita juga harus canggih dalam melihatnya, menemukannya, menikmatinya, dan bersyukur atasnya.

Dear aku di masa depan (lagi wkwk),

Gausah malu-malu berharap

Hidup tu ya, buat apa lagi coba selain memaksimalkan diri buat akhirat dan semesta?

-Triana