Friday, February 5, 2021

Akumulasi

 Assalamu'alaikum

Sudah lama sekali pengen cerita tentang karier. Tapi bukan bagaimana beratnya ia, atau bagaimana menyenangkannya ia, melainkan betapa dari karier ini aku mengagumi desain kehidupan yang sudah Allah takdirkan.

Paling tidak sejak SMP, aku selalu yakin bahwa kita bisa survive dalam kehidupan bukan karena usaha kita satu-dua jam, bilagan hari, pekan, bulan, atau sejumput tahun. Tapi ada sebuah perjalanan panjang yang menghasilkan individu dengan ragam pikiran, perasaan, dan kekuatan. Momen itu bermula dari kelahiran. Tapi tentu momen tersebut sudah Allah rancang jauh melampaui umur alam semesta.

Begini permisalannya,

Waktu SMP dulu, aku pernah dianggap pintar. Wow jumawa banget haha. Tapi memang begitu, sebuah implikasi dari mendapatkan posisi di puncak klasemen kelas. Apakah aku benar-benar pintar? Belum tentu. Tapi yang jelas, saat itu aku seringkali merasa apa yang aku capai hari itu bukan karena aku rajin belajar setiap malam. Karena memang tidak rajin :). Hasil itu adalah akumulasi ilmu yang sudah aku tahu di bangku SD, etos yang Ibu Bapak dan Kakak tanamkan, proses belajar yang aku nikmati (maksudnya, aku menikmati doodling selama kelas berlangsung? hehe itu juga), teman-teman baik hati, ambisi yang tumbuh sejak masa belia,  waktu yang cukup untuk belajar, dan sebagainya. Terlalu banyak faktor. Tercipta bukan karena setiap malam aku belajar.

Teori-teorian tersebut aku genggam erat higga saat ini.

Kalau ada yang bertanya "kenapa kamu jago berbicara", untuk mempersingkat waktu mungkin aku akan menjawab "karena aku sering latihan". Tapi yang tidak aku sampaikan adalah, kemampuan bicaraku mungkin ada kaitannya dengan inferioritas yang aku rasakan saat kecil, mungkin ada kaitannya dengan hobiku menulis, mungkin ada kaitannya dengan rasa ingin tahu ku yang tinggi, mungkin ada kaitannya dengan demokrasi yang Bapak bangun di keluarga ku.

Tentu saja ini bukan hanya soal kekuatan ku. Ini juga berlaku dengan luka, ketakutan, dan kelemahan yang aku punya. Yang setiap kita punya. Ia terbangun, mungkin, bukan secara instan.

Bahkan untuk mengacu pada yang lebih purba, semua kecenderungan ini bisa jadi sudah dikode dalam DNA.

Dan jangan lupa, balik lagi, aku orang yang percaya pada takdir. Bahwa semua sudah Allah susun sedemikian rupa. Jatuh-bangun kita. Mimpi yang tercapai atau yang kita anggap sia-sia. Orang-orang yang kita jumpa. Sebuah proses yang lama, nyata, dan pasti sudah Allah buat ia sebaik-baiknya.

***

Kembali berbicara soal karier,

Waktu tahun terakhir perkuliahan, aku kira aku jatuh cinta amat sangat pada dunia ilmiah. Aku tahu separuh hatiku bilang tidak. Tapi aku bilang ke diriku, kita nikmati saja siapa tahu kita bisa.

Dulu, Hana kecil ingin jadi jurnalis. Terjun ke dunia ilmiah seutuhnya, mungkin akan melukai ego masa kecilnya. Meskipun Hana kecil sudah tergantikan, ia sisakan sedikit jejak pengharapan. "Aku mau mengubah dunia dengan kata". 

Aku mentranslasi mimpi Hana kecil dengan gagasan yang lebih tidak kekanakan "aku ingin meningkatkan literasi di Indonesia". Ini tidak berbeda. Hanya saja Hana kecil dulu belum tahu kata-kata itu haha. 

Waktu aku lulus, aku kira mimpiku hanya akan jadi sebatas kata yang terus aku tunda. Tunda terus sampai aku anggap aku punya cukup sumber daya. "Bagaimana caranya sampai ke sana?" 

Sampai suatu hari, ketika akan wawancara di perusahaan ku sekarang bekerja, betapa kagumnya aku pada jalan cerita yang Ia cipta. Ternyata visiku dan perusahanku tidak beda jauh. Beda sih, ya namanya juga institusi. Tapi ternyata, kalau keterima, aku tidak perlu menunda mimpi. Aku akan berjalan pada jalan setapak menuju kepadanya.

Apakah aku bisa meniti karier ini karena aku lulusan biologi?

Menurut bapak dan ibu, meski mereka tidak secara eksplisit mengatakannya, kemungkinkan aku diterima karena aku lulusan universitas x. Mungkin saja. Aku tidak tahu, tapi jelas aku menyangkal. Bagiku, lebih logis jika kita melihat jauh kebelakang. Salah satunya adalah hari ketika aku bilang "aku ingin mengubah dunia dengan kata." Saat itu aku sedang suka-sukanya menulis blog, membaca sastra, dan menikmati cara guru-guruku mengajar. 

Setiap kali memikirkan ini, kepalaku seperti disuguhi lantunan lagu yang sangat lembut. Hatiku terasa lapang. Dan berkali-kali aku ingin bilang: Makasih Ya Allah.

Dari situ,

Cita-citaku mungkin esok lusa berganti.

Dan hari-hariku mungkin tidak selalu berjalan sempurna. 

Tapi aku selalu punya tempat bergantung yang sempurna. 


Cukup bagiku.

-Triana dan lantunan lagu lembut di kepala