Monday, January 27, 2014

Pantaskan diabaikan? Atau bahkan terabaikan?

Sudahkah kamu menjadi pribadi yang rendah hati?

Sudahkah kamu mencoba menjadi pribadi yang sabar?

Sudahkah kamu berusaha mendengarkan orang lain?

***
 “Allahuakbar Allahuakbar”

Selama ini, aku mendapatkan pendidikan yang memadai. Salah satu yang ku pelajari dari lingkungan sekolah dan keluarga adalah bahwa Allah, Dzat yang maha pencipta adalah Yang Maha Besar. Aku memang tak perlu pergi jauh. Aku cukup melihat keluar pintu rumah. Ada batu, rumput, pagar, kursi rotan, meja kecil, kaca, kramik, tanaman, jalanan, bahkan langit serta matahari dan bintang gemintang yang ada menghiasnya. Bahkan aku cukup menengok sebentar dari layar ini untuk melihat kebesaran-Nya. Bahkan aku tak perlu menengok, diam pun aku dapat merasakannya. Bagaimana pula pikiran ini dapat ada tanpa-Nya? Sungguh Allah Maha Besar, seluruh semesta ada dalam kuasa-Nya.

Sebaris kalimat tampil di layar televisi ku beberapa menit yang lalu

“Waktunya Adzan Maghrib untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya”

Kurang lebihnya begitu.

Lalu sebaris kalimat mengalun syahdu

“Allahu akbar Allahu akbar”

Gambar sebuah arsitektur masjid muncul di layar kaca, mendampingi lantunan adzan tersebut. Aku berusaha mendengarkan, mengingatkan diri untuk menjawab.

Entah ini baik atau buruk, namun ketika itu pikiran ku tidak sepenuhnya ada pada tempatnya. Ia melayangkan diri pada kejadian siang tadi ketika kalimat-kalimat yang sama dilantunkan, dan aku sedang seru mengobrol. Aku berusaha diam. Tapi tidak sabaran. Aku lupa apakah aku berhasil bersabar siang tadi, mungkin tidak. Baiklah, tak usah berkaca pada kejadian siang tadi aku memang sering kali tidak sabaran dalam mendengarkan kalimat panggilan-Nya. Adapun kadang aku berusaha menahan diri dan mendengarkan adzan, tapi lalu melemparkan beberapa kalimat pada lawan bicara.

Padahal dari dulu aku diajarkan:

“Allah Maha Besar”

Padahal setiap kali shalat aku mengucapkan:

“Allahu akbar; Allah Maha Besar”

Lalu adzan tadi sore sepertinya mempertanyakan itu semua. Benarkah aku bersungguh-sungguh dengan kalimat tersebut? Lalu mengapa aku masih mengabaikan Adzan, ketika kalimat tersebut kembali dikumandangkan, mengapa aku tidak menyimak dan menjawabnya?

Bukankah ucapan “Allahuakbar” menandakan bahwa aku mengakui kebesaran-Nya, mengapa ketika
muadzin mengumandangkan adzan aku malah sibuk dengan dunia ku? Di mana pengakuan ku akan kebesaran-Nya jika aku masih belum mendengarkan panggilan-Nya?

“Asyhadu alla ilaha illallah; Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah”

“Asyhadu anna Muhammadar rasulullah; Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah”

“Hayya alash sholah; Mari menunaikan Shalat”

“Hayya ‘alal falah; Mari menuju kemenangan”

“Allahu akbar; Allah Maha Besar”

“Lailaha ilallah; Tiada tuhan selain Allah”

Bukankah kalimat-kalimat tersebut begitu indah? Pantaskah ia diabaikan? Atau bahkan terabaikan?




Aku ingin berubah. Maka jika aku salah, mohon diingatkan.

Semoga kita senantiasa menjadi orang yang bersabar dan semoga Allah menguatkan hati kita dalam berbuat kebaikan :)

-Triana


Sunday, January 12, 2014

#BerburuHikmah

"Liburan ke mana aja Han?"
"Wakatobi. Lewat internet."


Assalamu'alaikum :)

HIHI liburan kemaren memang banyak Hana habiskan untuk berduan aja sama internet. bertiga sama hp. berempat sama teh tarik. berbanyak sama pemain game online yang lain.

Tapi gak cuman itu doang kok :)) walaupun liburan ini gak ngural, tapi Alhamdulillah dikasih kesempatan untuk menikmati hijaunya tanaman Wilayah Bogor dan arus sungai Cisadane, dan mencicipi ilmu yang mejeng di Kota Tua.

Sebelum gue mulai bercerita gue mau ngeshare salah satu bait lirik lagu yang gue lagi dengerin:

"Jika jatuh cinta itu butaBerdua kita akan tersesatSaling mencari di dalam gelapKedua mata kita gelapLalu hati kita gelap" -Efek Rumah Kaca, Jatuh Cinta Itu Biasa Saja

Menurut gue ngena. Kontrol diri? 

*** 
So, here we go!

Jadi waktu itu Hana akhirnya dikasih kesempatan lagi ke kota tua. Bedanya ini bareng akhwat-akhwat super. Jurnal perjalanannya mungkin biasa ajasih, naik kereta dari stasiun Pasar Minggu, turun di Stasiun Kota, ke Museum BI, lanjut jajan di depan Fatahilah, ke Museum Seni, makan di trotoar, pulang. Yang bikin beda adalah kita harus melakukannya sambil berburu hikmah ahaha asik :')

Mulai dari stasiun Pasar Minggu capcus lah ke stasiun Kota. AHAHA hampir 2 minggu jarang berinteraksi sama manusia ya jadinya gitu deh :' sepanjang perjalanan tidak berhenti ngomong.. #lebay. 

*anyway now playing lagu Sherina!*

Sampe distasiun Kota, komentar gue adalah "Wah ini stasiun yang di TV-TV itu ya?" Ahaha bagi kalian yang gak pernah ke sini, gue kasih tau aja ya.. suasananya itu mungkin bisa disebut sebagai vintage walaupun gue gatau vintage secara harfiah artinya apa.. EH GUE PERNAH DIKASIH TAU DEEENG. Tapi itu arti benerannya :( bukan arti istilah. Kata guru les privat mata pelajaran kehidupan di mobil, vintage ada hubungannya sama anggur di masa lalu. Mari kita tanyakan lagi kapan-kapan untuk konfirmasi :D Balik lagi ke topik, setelah itu kita capcus ke Museum BI, naik kaki :)

 Sampe di Museum BI langsug titip barang, masuk, dan sebagian ke toilet #penting. Terus foto-foto juga deh :') di Museum BI banyak kaca patri, ituloh kaca yang warna-warni terus disusun gitu jadi jendela. Setelah pasukan siap kita langsung masuk ke Museum BI yang ternyata gaul! Baru masuk aja disambut sama gambar proyektor yang gambarnya bunga-bunga.. lucu deh kayak bunga mawar gitu terus ganti-ganti entahlah cuman bunga mawar atau enggak.. Filosofinya kira-kira apa ya? Apakah ini ilustrasi dari bunga bank?

Lanjut!

Terus kita masuk terus, let's see what we had find out




AYO TEBAK! Ini siapa?



Bro emas asli bro *katanya*


Gue kira museum ini bakal kayak museum di Indonesia pada umumnya.. Tapi ternyata bagus kok :) Recommended for you apalagi buat tipe orang yang suka ngabisin waktu lebih dari 3 jam di satu museum! Tapi emang sih, di awal-awal bener-bener ada nuansanya, property, dan segala sesuatu yang menarik.. mulai ke akhir (yang Hana inget) lebih banyak tulisan.. dan diakhir-akhir Hana juga udah gak bacain satu satu sih :p abis ketinggalan rombongan. Anyway, di museum ini di bagian depan ada sejalur tempat yang isinya menceritakan sejarah perbankan di Indonesia (dan termasuk ekonomi dan sospol bahkan efek global warming terhadap kondisi keuangan dunia), terus ada ruangan yang isinya benda-benda kuno gitu kayak telpon super besar yang kalau mau nelpon harus ngehubungin operator dan dipenuhi kaca patri dengan gambar-gambar komoditi ekspor Indonesia tempo dulu (which is spices), terus ada ruangan simulasi brangkas.. yang isinya ada emas batangan banyak betul dan sepertinya asli, terus ada ruangan koleksi uang Indonesia dari masa nusantara kali ya.. terus ada juga mata uang internasional~ Dan entah kenapa di ruangan yang sejarah itu ada topik pembahasan yang secara bersambung dibahas yaitu mengenai leasing (atau lising?) 

Di sini gue belajar banyak hal :) syukurlah;
1. Segala sesuatu yang baik harus diserta semangat yang kuat (hikmah dari tulisan di foto di atas :p)
2. Museum Indonesia mulai bagus ya bro, semoga yang di daerah juga jadi lebih bagus <3 p="">
3. Jangan gegebah dalam mengambil keputusan, belajar dari pencetakan uang secara besar-besaran yang akhirnya menimbulkan inflasi
4. Go green berpengaruh sama keadaan ekonomi dunia! yuhu
5. Aturan dibuat ada maksudnya... (belajar dari bagaimana ruang berangkas ditempeli pengumuman "dilarang duduk-duduk" atau seperti itulah, dan orang-orang justru pada duduk di bawah :)) entahlah ngaso atau foto)

Lanjut capcus to da next museum

awalnya mau ke fatahillah, tapi karena kita antimainstream jadi nyebrang dikit ke museum seni. Sebelumnya, minum susu nasional dulu dong #ea #procol *padahal gaikutan minum susu nasional*. Di museum seni ada banyak keramik dan lukisan :)) dari keramik yang kalau di mata gue sih cuman gumpalan doang, sampe guci-guci yang hatjep *kalau kata anak gaul* eh hatjep gak ya.. sebenernya sih gucinya gak ada yang wow banget di mata gue.. tapi bagus sihhh. Terus lukisan-lukisannya juga banyak, sayangnya sebagai orang awan yang gak ngerti-ngerti amat soal lukisan, gue merasa informasi tambahan mengenai suatu lukisan itu perlu. Kalaupun bukan maknanya yang ditulis, bisa aja latar sejarah dan sosial yang memadai, jadi kan bisa dipahami :)

gue dapet pengalaman bagus nih,
jadi mas-mas yang ada di museum ini tuh keren abis. Kayaknya sih dia bagian pengawas CCTV dan pengemuman ke pengunjung gitu. Nah, setiap berapa menit masnya tuh kayak gak kenal lelah ngumumin di speaker "untuk pengunjung harap tidak menyentuh lukisan. Dan diingatkan bahwa akan tutup pada pukul .... blabla" HIHI konsisten men! Terus yang kedua gue juga jadi sadar bahwa gue egois :( gue kan tipe orang yang kalau masuk museum bisa baru keluar 1 abad kemudian #lebay. Maksudnya gue tuh lama -_- soalnya kayaknya kalau gak dibaca/diperhatiin satu-satu gak afdol.. padahal sih afdol-afdol aja. Secara sadar gue pun terpisah dari rombongan, keasikan, dan malah bikin orang lain menunggu :( maaf ya teman-teman, doa'akan aku jadi lebih baik...

Tamat keliling museum, kita laper. Akhirnya kita makan di emperan museum.. Duileh kesannya gimana banget.. Enggak kok kita cuman makan lesehan di halaman museum :)

Selesai makan kita pun pulang. AHAHA baru masuk stasiun aja udah disuguhi pemandangan antrean yang sangaat panjang. Jadi deh, Gue, Yeniar, dan Kak Hanan bersama ratusan manusia lainnya mengantre demi beberapa buah kartu CommuterLine. Alhamdulillah ngantrenya sangat menyenangkan :') Dari sini gue belajar bahwa ketika kita ngelakuin sesuatu yang gak enak, berpikirlah positif, saat itu gue memenuhi otak gue dengan hal-hal menyenangkan, ngajak Yeyen ngobrol dan main itung berapa orang yang pakai baju hijau :) dan 1 lagi, yuk kita budayakan ngantre! Gue sebenernya respect banget sama banyak orang yang udah bersabar ngantre dari awal, walaupun ada juga sih yang nyelak antrian dan orang tersebut berakhir diomelin sama orang depan atau belakangnya :p walaupun sisi plagmatis diri gue cuman membuat gue diem sambil mesem-mesem ngeliat orang2 kayak gt :))

Di kereta pun gue masih gabisa diem, dan terus berceloteh. Sampailah kita ke sebuah percakapan tentang air. Awalnya kita lagi ngomongin air zam-zam yang "katanya" boleh diminum sambil berdiripun ( untuk kebenarannya saya kurang tau :) bisa dicek di sumber lain yaa). Terus ada yang mulai bertanya-tanya kenapa itu cuman boleh dilakuin sama air zam-zam. Akhirnya kami pun mengambil kesimpulan bahwa memang segalanya ada bagiannya. Gak adil? Enggak juga, bukankah adil berarti sesuai dengan porsinya? Bukan berarti harus sama rata sama rasa. well done ukhtiers :)

Dan stasiun Pasar Minggu akhirnya mengakhiri perjalanan kami kali ini. Ah senangnya. Sebelum pulang tuker tike commuterline dulu sama lima ribuan :p lumayan.




Semoga kapan-kapan bisa lengkap yaa.


Eniwei, liburan ini gue belajar hal baru yang menurut gue menyenangkan. Duh mungki faktor golongan darah A HAHA. Eh boleh gaksih percaya sama golongan darah gitu? Ehm mungkin sebaiknya dihindari kali ya.. Eh tapi sebenernya gak semua yang dibilang soal golongan darah A cocok sama gue, dan atau orang lain. Jadi mending jalanin hidup sesuai hidup sendiri aja :p EEH jadi belajar apa? SISTEM KLASIFIKASI DEWEY! YEAY! itu tuh tau gak kalau di perpus ada kode buku yang ditempel di samping? NAH! Tapi biar gak ribet-ribet gue sih download software AHAHA pengen deh belajar lebih dalem terus nulis ulang tentang sistem ini karena ini menyenangkan :'D

seperti taksonomi


UYE! Udah ah. Have a nice day peopleee!


-Triana

Wednesday, January 8, 2014

#cerpen - Apa yang baru di tanggal satu?

1 Januari, Tahun baru katanya.

Pagi yang lelap. Raga-raga yang masih bermalas-malasan di tanggal merah, dan atmosfer sisa asap semalam. Jalanan ibukota masih sepi dari manusia, namun ramai dengan sampah.

 "Tadi malam ada pesta besar" katanya.

"Lalu apa yang baru di tanggal satu? "

Hati ku terguncang.

Tanya yang menghampiri nampaknya selalu saja menohok. Walau raga ini lemas akibat tidak tidur dari semalam, dan kafein yang perlahan menggerogoti tubuh, namun nyatanya pesta semalam tak buahkan apa-apa selain kantuk. Ya, dan mungkin sedikit kekenyangan.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, aku memilih untuk menikmati malam tahun baru seperti layaknya orang normal. Begadang hingga larut malam, menonton kembang api di pusat kota, dan bergabung dalam keramaian. Berbeda dengan aku yang biasanya memilih untuk tidak peduli dengan tahun yang baru, kecuali sebersit rasa bahagia ketika membuka bungkusan kalender baru. Bagi aku yang dulu, tanggalan hanya sebuah angka. Orang bilang "tahun baru adalah lembaran baru" bagi ku sama saja. Bagi ku setiap hari adalah awalan sekaligus kelanjutan. Atau bila itu terdengar telalu klise maka sebut saja bahwa bagi ku setiap hari sama saja.

Sama-sama mengejutkan sekaligus membosankan. Atau jika itu terlalu klise sebut saja "sama saja".

"Ehm.. Roti Bakar?"

"Boleh, selai kacang dan blueberry," kata-katanya lagi-lagi menjadi kejutan buat ku.
"Ada yang salah?" Ujarnya membalas kebingungan yang hadir dari wajah ku

"Bukankah kau selalu meminta selai strawberry?"

"Kamu yang bilang ingin menjadi orang baru di awal tahun ini bukan? Aku memfatilitasi mu untuk membuatkan sesuatu yang baru pula. Bukankah kamu harus memasukan ku dalam daftar orang baik setelah ini? dan mengetikan nama ku dalam follow friday yang nampaknya akan jadi agenda rutin mu setelah membuat keputusan ini." 

Ah, panggil orang itu Ias. Wanita yang dinamis, optimis, tapi begitu kontra dengan keputusan ku untuk mendaur ulang sifat dan sikap. Mengapa pula? Bukannya selama ini Ias selalu menjadi wanita yang senang keramaian dan terpaksa harus pulang sebelum acara selesai demi mengantar ku dengan alasan yang itu-itu saja: Aku tidak nyaman. 

Ia terus berkicau tentang apa yang mungkin akan aku lakukan di awal tahun ini untuk merayakan kelahiran pribadi ku yang baru. Aku biarkan saja ia berkicau. Tangan ku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk berdua. 

"Ias.."

"Dan kamu mungkin gak akan pernah lagi ngajak aku ke toko buku cuman demi beli selembar--"

"IAS!"

"Apa nona revolusi?"

"Kamu berisik. Mau kopi atau teh? Follow friday udah gak populer sejak setahun atau dua tahun yang lalu. 
Dan kenapa pula aku dipanggil nona revolusi?"

"Bukankah dalam agenda baru mu berarti kamu akan jadi orang yang sama berisiknya dengan aku? Teh. Ya baiklah kamu cukup uptodate. Cari aja di Kamus Besar Bahasa Indonesia mu itu, Ah aku lupa kini kamus itu mungkin akan kamu loak-kan karena kamu kini akan menjadi orang yang benar-benar baru! Aku beli kamus mu Re, sepertinya menyenangkan membalas argumen orang lain dengan kamus. Setidaknya kalau aku gak dapet perlawanan, tinggal aku lemparkan aja kamus itu hahaha."

Baiklah. Secangkir teh kental dengan gula 1,5 sendok, satu teh susu, dan 2 tangkup roti bakar. Aku membawa nampan ke meja makan. Masih sambil membiarkan Ias sibuk dengan kicauan dari dunianya. Ias sepertinya telah selesai membeberkan seluruh kekhawatirannya yang ia kemas dalam kata-kata untuk membuat ku menyerah. Tentu saja aku pun tergoda untuk menyerah, siapa pula yang senang keluar dari zona nyaman?

Ias mengabil 1 tangkup roti. Memotongnya menjadi 4 bagian. Memainkan satu bagian, urung menyerahkan prosesnya pada sistem pencernaan.

"Re, jadi apa yang baru di tanggal satu?"

"Keyakinan As. Sama seperti tiga hari yang lalu, harapan itu masih sama."

"Kenapa si Re? Kenapa kamu harus berubah dan gak jadi kamu apa adanya?"

Aku mengabaikan pertanyaan Ias. Sebuah pertanyaan yang menurut ku tak perlu ku jawab dengan kata-kata. Bukankah 7 tahun persahabatan telah memberikannya lebih dari jawaban? Bukankah ia melihat bagaimana dunia memperlakukan seorang minoritas? Bukankah ia paham bagaimana kacaunya perasaan ku ketika ide yang begitu cemerlang dalam otak ku harus menguap begitu saja karena keterbatasan ku dalam berhadapan dengan makhluk bernama manusia?

Tekad ku sudah bulat. Aku ingin memanusiakan diri ku. Biarkanlah aku terjun ke panggung sandiwara ini, memoles wajah ku dengan kepura-puraan, setidaknya jika ada orang yang mempertanyakan apa aku ini sebenarnya, maka aku harap seluruh makhluk bumi menjawabnya tanpa berpikir 2 kali. Karena saat itu aku adalan manusia, dari sudut pandang mana pun aku akan tetap terlihat sebagai manusia. Tidak seperti sekarang ketika aku dapat menyamar menjadi debu atau daun kering, ada untuk tersapu kelak.

Aku menghabiskan sarapan kurang dari 10 menit. Meski sebenarnya pesta semalam hanya menyisakan sedikit ruangan untuk makan pagi, tapi demi menghindari pertanyaan Ias -- yang menurut ku tak perlu dijawab -- aku rela tenggelam dalam kesibukan mengunyah roti bakar. 

"Oke, gini ya Reda aku paham maksud kamu. Aku ngerti semua alasan kamu. Tapi aku gak mau kamu berubah. Aku.."

"Ias, please ini bukan soal hidup kamu. Ini hidup aku Ias. Aku yang ngerasain betapa gak enaknya tersingkirkan. Kamu kira aku suka dengan semua perubahan ini?"

"Terus kenapa harus dengan cara ini? Biarkan diri kamu tumbuh jadi kamu apa adanya. Kalau mereka gak nerima kamu, cari tempat lain. Cari orang lain. Potensi kamu jauh lebih besar dari semua kekurangan ini."

Itu kalimat terakhir Ias. Selanjutnya ia mengambil tissue, membungkus sarapan paginya, menghabiskan tehnya, mengucapkan salam, dan pergi. Sejak itu ia tak pernah lagi menghubungi ku, dan rasa takut ku tumbuh menjadi ego yang membuat ku tak sanggup mengatakan apa-apa padanya. Apalagi mengetik jejeran huruf yang berbunyi "maaf".

Sadarkah Ias bahwa kata-katanya sanggup meluluhlantahkan dunia seorang gadis yang sedang tergila-gila dengan warna merah muda? Ketergila-gilaan ku akan pengakuan memang jauh lebih tidak cerdas dari itu. Sebut saja “bodoh” jika kamu memang orang yang tidak mudah tersinggung.
***

1 Januari, Tahun baru katanya.

Pagi yang lelap. Raga-raga yang masih bermalas-malasan di tanggal merah, dan atmosfer sisa asap semalam. Jalanan kota masih sepi dari manusia, namun ramai dengan sampah.

Tepat 365 hari kah?

Tidak, malam tadi bukan waktu yang tepat untuk berpesta pora.

Aku terbangun pagi ini tepat pukul 05.00 pagi. Mematikan alarm, menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, dan seperti ratusan pagi yang telah lewat air mata ini masih setia membasuhi pipi.

Bagaimana kabar Reda?

Di sela-sela do’a yang kupanjatkan, nama mu kembali menghias pikiran. Reda. Setahun yang lalu aku meninggalkan mu tanpa keterangan apa-apa. Tanpa penjelasan apa-apa. Namun sungguh ada banyak hal yang harus ku jelaskan dan ku terangkan. Andai saja engkau tetap Reda yang sesungguhnya, ingin aku bicara pada mu bahwa keputusan yang kau pilih bukanlah yang terbaik.

Pernah aku dengar sebuah cerita tentang wanita yang memaksakan dirinya untuk berubah. Ya, demi sebuah kata indah yang bernama “pengakuan” dan mimpi bernama “bahagia”. Ia sibuk meyakinkan orang lain bahwa dirinya begitu layak dipuji atau bahkan dipuja. Ia habiskan hari untuk mengejar harta dan takhta. Otaknya yang waras kala itu ditutupi oleh kabut tebal, dirinya bertambah bahagia, bertambah lupa pula. Ia telah lupa akan masa lalu, masa depan pun tak pula ia tahu. Hingga yang ia hadapi selanjutnya hanyalah penyesalan yang berlarut.

Bukankah cerita seperti itu sudah banyak diangkat ke FTV?

Mengapa pula kamu masih tidak mau tahu, Reda?

Pikiran ku akan Reda telah menyita 10 menit waktu ku untuk olahraga pagi. Biarkanlah, toh ini hanya sekali dalam setahun. Aku pun bangun untuk melipat sajadah. Mengambil ponsel di meja samping tempat tidur. Mengetik sebaris pesan dan mengirimkannya pada nomor yang sungguh aku hafal, meski terakhir aku mengetikannya adalah setahun yang lalu. Sungguh hanya itu yang mampu aku lakukan sekarang ini. Aku kembali meletakkan ponsel. Keluar dari kamar menuju kamar sebelah. Membuka pintu perlahan, takut si pemilik ruang terbangun.

Aku melihat lurus ke arah tempat tidur. Sesosok wanita tengah tidur dengan tenang. Seseorang yang menyaksikan ku tumbuh dan berkembang. Aku sungguh hanya perlu satu hal untuk merasa bahagia hari ini, aku ingin ia masih diberikan kekuatan. Untuk sehari lagi mengulur ajal yang begitu dekat.

Aku sungguh sadar Reda, berubah tak selamanya harus didefinisikan seperti itu. Sebuah definisi yang telah membuat orang lain dalam hidup mu rela hidup dalam kekhwatiran, yang kibatnya membuat mu tumbuh tua dengan menanggung penyesalan.

Aku harap sebaris pesan ku pagi sampai pada mu Reda,

“Apa yang baru di tanggal satu?”

Semoga jawaban mu membuat hari ku semakin menyenangkan.


Anyway, aku nampaknya setuju dengan prinsip mu dahulu. Nampaknya setiap hari sama saja. Ah, tak ada bedanya tanggal satu ataupun duabelas. Satu lagi do’a ku untuk mu Reda, semoga kamu terus menjadi orang baru pada setiap waktu, bukan mengacu pada tanggal satu. Tentu, mengalami perubahan dalam definisi yang berbeda. Cari saja di kamus mu itu Reda. Aku harap kamus mu belum kau loak-kan.