Friday, August 13, 2021

Triana first career

Assalamu'alaikum!

 Bulan ini, genap setahun aku bekerja dalam industri teknologi pendidikan. Tepatnya dalam jalan karier sebagai instructional designer. Panjang bet weh namanya, mari kita singkat menjadi ID.

Karena aku mulai kerja di kala pandemi, aku agak jarang harus interaksi sama teman lama atau orang baru lalu harus bercerita tentang pekerjaanku. Karena menurutku: wah PR juga nih jelasinnya. Pertama, karena profesi ini tidak umum didengar (paling engga, sebelum interview kerja di kantor ku skrg aku teh gatau ada profesi kayak gini hehe). Kedua, karena ada potensi ditanya-tanya,"anak biologi kenapa jadi ID?". 

Tapi sama kayak dulu masuk biologi dan ku santai aja kalo orang bingung sama pilihan jurusanku, sepertinya menjelaskan tentang kenapa aku akhirnya jadi ID juga akan jadi momen ngebingungin yang menyenangkan wkwk.

Anyway, semua ini bermula dari nyari kerjaan di hari Idul Adha. Pagi-pagi sebelum pada sholat ied, orang lain mungkin fokus beres-beres diri atau rerumahan. Aku hari itu buka jobstreet buat liat-liat lowongan. Saat itu gak banyak ekspetasi harus kerja di tempat dan profesi kayak apa, yang penting kerja dulu lah wkwk. Sebenernya, prinsip kayak gitu tuh agak beda sama sikap ku di waktu dahulu. Biasanya aku selalu sudah tahu mau kemana ketika lulus dari satu institusi. Ketika kemarin lulus kuliah, aku sok iye aja mau membangun jalan untuk bisa kerja di kampus. Sayangnya (dan syukurnya, karena mungkin memang sudah jalan dari-Nya), rencanaku gagal karena ndak bisa bulak-balik lab yang sudah ku sasar. 

Okk balik ke jobstreet. Akhirnya kita cari aja yang seru-seru ya kan. Seperti di bidang edukasi dan riset. Daftar juga jadi QC sambil ngebatin "engga gue banget sih ini jadi QC, tapi ya coba aja kali ya". Sempet juga iseng-iseng daftar BUMN, iseng-iseng tapi lama-lama kok ngarep ya aku wkwk.

Tapi tetep saja nyari-nyari kerja saat itu masih setengah hati, masih ngebayangin bisa kerja di tempat yang sudah disasar saja gitu. Di satu sisi, engga enak juga rasanya tinggal di rumah ortu tanpa ada kegiatan yang produktif. Jadi ya gas aja lah, mari kita telan perasaan-perasaan yang bertaburan.

Suatu hari pas lagi masak (tapi lupa masak apa, kayaknya yang ribet-ribet) eh dapet kabar untuk ikut tes dari kantor yang sekarang. Yang ku inget, waktu itu sempet ribet balesnya, soalnya tangannya lagi banyak tepung (ato apapun yang bikin susah ngetik). Sempet mikir dulu "ini kerjaan yang mana ya yang ngehubungin?", ya kan daftar kerjanya beberapa wkwk. Tapi akhirnya ngeuh kalo ini tawaran kerja sebagai "content developer". Yang ada di kepala ku: "Oh ya ngurus konten lah, paling nulis2 gitu". Ekspetasinya nulis konten aja gitu. Saat disuruh ikut tes, kita hayuk aja. Lagian tes masuk kantor yang ku ikutin sebelumnya juga seru-seru aja, jadi hayuk aja lah.

Pas dapet soal tesnya: jeng jeng. Lah bahagia banget diriku. Kita ga bocorin soalnya ya guys, mohon maaf, wkwk. Tapi intinya tesnya adalah seputar developing konten (YAIYALAH kan jadi content developer wakkaka) dan teaching skill. Dan bentuk soalnya ternyata adalah hal-hal yang dekat dengan keseharian ku. Maksudnya: sering ku kerjain semenjak sekulah :') apalagi pas kemarin akhir kuliah sempet jadi kakak guru les ya kan.

Meskipun rasanya seneng banget karena soal tesnya terasa 'dekat'. Tapi perasaan pengen nyerahnya ada juga sih, karena ku pikir: Ini yang daftar ribuan orang dan latar belakangnya lebih related, plus aku ngerjain tesnya lama bangeet wkwk. Tapi dibisa-bisain deh. 

Alhamdulillah akhirnya sampai juga diterima jadi anak baru.

Pas tahu bahwa sehari-hari akan bikin modul dan video pembelajaran, perasaannya senang dan takut wakaka. Seneng karena setiap hari bisa ngerjain apa yang aku suka: Belajar hal baru dan menyampaikan pembelajaran tersebut, ngutak ngatik kata-kata, bikin alur cerita, hehe hehe hehe. Takut karena kedengerannya canggih banget produknya wkwk, ya takut ga mumpuni aja secara teknis. Apalagi ternyata materi yang harus dikerjain ga ada yang di lingkup ilmu alam. bye biologi :') o tapi tentunya saja tidak bye bye banget, karena biologi punya banyak andil dalam hidupq.

Dan hari ini aku masih di sini~

Di rumah aja, soalnya kerjanya WFH karena masih juga pandemi.

Dari yang dulu pas interview polos banget bilang "Saya baru tau ada kerjaan kayak gini", sampe sekarang udah tau sih wakakak cuman masih penasaran banget sama dunia dan industrinya. Hal ini seems interesting for me, karena ngerasa fit banget sama konsep pekerjaan ini. Yha gatau sih, apakah ini akan bertahan for the rest of my life? apakah kelak ada kesempatan untuk terus step up my game? atau apakah kelak aku akan kembali ke ekologi serangga? wkwkwk.

Betapa menariknya hidup ini yesh.

Tinggal gimana kita memaksimalkan kesempatan yang Allah kasih, sebaik-baiknya.

Bismillah untuk year two and above~ 


Yang nulisnya semakin jumpy,
Triana

Wednesday, April 7, 2021

Self Reflection Journal #2: Enjoy!

Assalamu'alaikum.

Apa yang membuat mu kuat ketika melewati hari-hari yang berat?
Apa yang membuat mu sukarela menerima yang kau punya?
Apa yang membuat mu bangkit dari sakitnya jatuh dalam kegagalan?

Jawab sendiri ya jangan tengok kiri-kanan (buat apa juga?)

***

Bagiku, jawaban atas pertanyaan ini ada banyak ragamnya. Tergantung mood dan kondisi otak ku sedang berceramah tentang apa wkwk. Yang pasti, dan pastinya, adalah karena aku selalu punya Allah. Aku tahu apa yang Ia gariskan menjadi takdirku, pasti yang terrrrrbhaik! p.s.: bukan yang termudah.

Ragam jawaban lainnya adalah: 
- menerimanya; dan
- menyukainya

***

Bagiku, menyukai sesuatu adalah kuntji.

Aku seringkali melibatkan faktor "aku suka itu!" dalam membuat keputusan
Misalnya, jurusan, pekerjaan, order go-food, atau memilih buku apa yang ingin aku baca selanjutnya

Jujur, aku gak merekomendasikan cara ini pada setiap orang. Tentu ada orang-orang yang terlahir rasional dan tumbuh besar secara rasional. Dan rasional adalah sesuatu yang menurutku mahal. Betapa besar harga dari berpikir secara matang demi kemasalahatan. Sesuatu yang aku tidak miliki secara dominan, tapi aku menghargainya! :)

Back to "menyukai".

Bukan berarti aku selalu mendapatkan apa yang aku suka
Tapi justru ketika aku mendapatkan yang sebaliknya, berusaha 'menyukai' adalah jurusku untuk retas

Seperti ini:

Dulu, rasanya masuk IPA bukan sepenuhnya keinginanku.
Loh, aku kan mau jadi jurnalis. Cita-cita tersebut sudah berulang kali aku deklarasikan sejak duduk di bangku SD. Maka secara logis, seharusnya aku memilih IPS.
Tapi aku tahu akan ada perasaan yang dikorbankan ketika aku memilih IPS. Perasaan pihak lain, dan sebagian perasaan ku yang masih abu-abu.
Akhirya aku masuk IPA. Bukan sepenuhnya keinginanku, tapi ia adalah pilihanku.

Bagaimana rasanya menjalani hari sebagai anak IPA setengah hati?
Tentu berat. Tapi setengah hatiku tidak berlangsung lama. Karena aku berusaha menginvestasikan perasaaku pada IPA.

Aku berusaha mencintai fisika
Aku berusaha berteman dengan kimia
Aku ... mencoba belajar matematika.. tapi remedial terus sih (kecuali 1 materi, kalau ga salah wkwk)
Aku jatuh cinta pada biologi

Proses mencintai IPA kalau dipikir-pikir lucu juga. Aku lupa bagaimana caranya sampai akhirnya aku bahkan bisa sedih ketika dapat matkul fisika dasar terakhir di kuliah. Yang aku ingat, aku hanya mencoba bilang pada diriku "woooooow howwww excitinggggg!" ketika menerima konsep-konsep ilmu alam. Tapi dilakukan dengan tulus ya :) sampai akhirnya aku melakukannya, tanpa diperintah (dan kadang berlebihan wkwkwkkw).

Mungkin kuncinya adalah begini:
1. Menikmati hal-hal kecil, mengagumi bagaimana ia ada dan bekerja
2. Mengasah rasa ingin tahu
3. Menanam benih antusiasme

Percaya atau engga (tapi harus percaya). Kalau dulu aku setengah hati jadi anak IPA, memasuki bangku kelas tiga aku mulai sukarela mempelajarinya. Bahkan kagum sama konsep-konsep dan kekerenannya. Memasuki semester lima aku mulai ingin dunia tahu bahwa IPA tuh keren bgtz gils ga ngerti lagi. Dan ketika sampai dunia kerja, aku justru nyari-nyari kerjaan yang ada IPA-IPAnya HAHA :') InsyaAllah nexttt journey adalah mewujudkan mimpi-mimpi meningkatkan literasi sains bangsa yaaaas!

udah-udah, balik ke topik awal.

Menyukai sesuatu buatku berlaku untuk banyak hal. Bahkan mungkin apapun. eh iya gak sih wkwk.

Kita pastiii pernah ga suka sama orang, kalau aku, ku berusaha nyari sifat doi atau perilaku doi yang menurutku lovable. Meskipun ini PR yaaa! ga mudah emang wkwk. Aku pun masih belajar

Kita juga pastiiii pernah ga suka sama suatu aktivitas. Aku dulu ga suka nyetrika wakkaka. Tapi pada suatu titik waktu aku suka banget! Caranya adalah, nyetrika sambil nonton master chef. Aku suka acaranya + ngerasa produktif banget??? bisa belajar, nyari hiburan, sambil nyetrika! Terus aku cari cara-cara lain yang bikin aku suka nyetrika, misalnya: bikin playlist nyetrika yang isinya lagu-lagu seru, cerah, ceria, seperti senin pagi dannnn mendengar podkes2 sains!

Kita juga pastii pernah ga suka sama suatu barang di dalam hidup wkwkw. Nah yang ini bisa dihias atau dipasang sesuatu yang kita suka. Aku biasanya suka yang lucu-lucu. Terus, kalau waktu kecill aku juga suka namain benda-benda, hal itu ngebuat hubungan aku dan benda tersebut semakin akrab. Kalau itu terlalu kekenakan, paling tidak coba ingat2 kebaikan benda itu terhadap hidup kita. Betapa ia memudahkan gaksi~ (atau engga?). Dan inget, dia hadir di hidupmu karena sudah Allah jadikan ia rizkimu.

Seeeems so positive right?
Yapp! begitulah cara aku menaklukan gundah, jatuh, atau hari-hari yang terasa buruk.
Tapi aku bukan sinar mentari, tentu aku ga terus-menerus merona, cerah, dan ceria. Kadang kala aku butuh waktu panjang untuk bisa menerima upaya ku menetralkan suasana. Kadang aku perlu jeda untuk sekadar berair mata. Bahkan kadang, upaya berusaha menyukai adalah proses yang menyayat-nyayat.

Tapi semua pasti akan selesai dan baik-baik saja
Suatu hari nanti

-Triana






Monday, April 5, 2021

Self Reflection Jurnal #1: Intro

Assalamu'alaikum

Dalam kolom form registrasi atau obrolan-obrolan semiformal, aku seringkali bercerita bahwa hobiku adalah menulis. Biasanya aku sandingkan hobi tersebut dengan hobi lain, seperti membaca, menggambar, atau yang teranyar adalah mencuci piring. Kadang kala, di sesi berpikir, aku suka bertanya-tanya: "Apakah menulis benar-benar hobiku?". Pertanyaan ini muncul karena aku bisa memiliki jeda yang cukup lama dari satu karya ke karya lainnya (dan aku tidak apa-apa), aku bisa merasa beratt sekali untuk menulis satu buah artikel, aku seringkali lebih capek saat menyunting kata daripada mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain, dan aku gak pernah benar-benar menerbitkan tulisanku (selain di media sosial).. sebagaimana sebagian teman-teman sebaya ku yang menyatakan dirinya suka menulis.

Tapi setelah banyak argumen yang aku ajukan untuk menantang diriku sendiri, sesi berpikir lalu akan beralih ke topik-topik berikutnya. Dan dalam khidmatnya bercengkrama dengan pikiran, gak jarang aku berkomentar ringan "Ah pengen deh aku nulis tentang itu!". Oh, ternyata aku memang benar-benar suka (kepingin) menulis.

Tapi perjalanan tujuh bulan bekerja membuatku paham sesuatu:
Bisa jadi apa yang kita cinta tidak melulu terasa menyenangkan. Ya, kira-kira seperti ketika kita mencintai teman, orang tua, atau pasangan. Bukankah di satu titik pasti ada juga saat kita berkorban?

Tapi cinta membuat kita lebih mudah untuk bangkit dan beberes, lebih mudah untuk memaafkan, dan lebih mudah untuk mengajak kesulitan itu bergandengan tangan seraya berkata "yuk jalan lagi".

Selain itu, aku juga jadi lebih menerima. Bahwa mungkin rasa suka ku menulis memang bukan selalu untuk ku suratkan pada khalayak. Jika ditelisik, tulisan-tulisan blog, instagram, notes hp, atau surat cintaku pada mama, lebih banyak bercerita tentang perasaan ku, tentang isi kepala ku, atau tentang interpretasi ku atas hikmah sehari-hari. Aku suka menulis makna. Yap, sesuatu yang mungkin tidak sekeren prosa atau karangan fiksi saintifik. 

Maka mari kita rayakan kesukaanku dalam ruang yang ku bangun satu dekade lalu (Waw sudah tua kamu, blog ku). Here it is, serial self reflection journal ala aku! Jangan protes kalau aku nulis tentang makna belalang atau hikmah dari mencuci piring, karena bisa jadi itu yang ku mau :) 

Cheers!
-Triana

Monday, March 15, 2021

Twinkle twinkle little star

 Assalamu'alaikum,

Lately, I've feel an urge to tell stories about myself.

Sesuatu yang aneh buatku haha. Memang sebenarnya normal saja ya ketika kita banyak ingin berbagi tentang diri kita. Dan akupun buka tipikal orang yang tertutup rapat, tidak sulit membuatku bercerita tentang semesta dunia ku. Tapi biasanya aku punya kendali untuk memilah dan untuk bersabar. 

Seperti banyak orang lainnya, aku sebenarnya suka dan ingin sekali berbagi banyak hal tentang kehidupan ku. Tentang aktivitas yang aku lakukan, tentang teman-teman yang aku shayang, tentang lagu yang aku sedang putar berulang-ulang, dan lain sebagainya. Tapi mostly aku berusah mengerem itu semua, pertama karena aku merasa hidupku ga sepenting itu untuk diketahui orang lain haha. Kedua, karena aku ngerasa ga bermanfaat aja wkwk, apalagi kalau ceritaku malah men-dzolimi orang. Ketiga, karena menjadi orang yang berlapis-lapis adalah caraku mempertahankan keutuhan diri. Kadang aku bisa merasa hampa bgt ketika kebanyakan menceritakan tentang diriku, seakan aku kehilangan tamengku yang terdiri dari lapisan kabut.

Tapi akhir-akhir ini, perasaan itu mengguncangku. Aku ingin bercerita tentang diriku pada sekelompok orang tertentu. Sayangnya, urgensi itu hanya jatuh pada pihak ku. Hehe apakah ini rasanya cinta bertepuk sebelah tangan~ ets, tidak ya kawan2, ini bukan soal percintaan wkwk.

Jadi.. baiklah!

Aku paham ujung-ujungnya aku akan memilih bersabar saja sampai waktu yang tepat. Ketika urgensi itu sudah jatuh pada kedua pihak. Atau mengalir begitu saja dalam derasnya realita.

Tapi anyway, to make my mind clearer sepertinya aku akan banyak bercerita di sini!

Bear with me ya :)

Friday, March 5, 2021

Self-Counseling Session

 Assalamu'alaikum!

Siapa yang di sini punya kebiasaan untuk menerjemahkan emosi diri?

Itu aku!

hehe


Setelah punya lebih banyak teman, aku baru mengerti kalau orang menyikapi emosinya dengan cara yang beragam. Ada yang harus mengekspresikannya, ada yang pintar menyimpannya rapat-rapat, ada yang sekadar harus dituangkan dalam cerita, atau memilih untuk tidak ambil pusing tentangnya. 

Tapi bagiku, emosi ku harus diterjemahkan. Dipereteli hingga akar-akarnya. Engga selalu harus disampaikan, aku cuman ingin tahu apa yang sebenarnya aku rasakan.

Mungkin dahulu kala, mekanisme itu aku gunakan untuk bisa retas di dunia. Agar cepat-cepat tahu apa yang harus aku lakukan untuk mengatasi masalah. Tapi lama-kelamaan ia jadi kebiasaan. Ketika pikiranku sedang begitu gelisan atau mengawang-awang, pertanyaan dari hati "kamu kenapa Han? ayo sini cerita" adalah kata-kata yang membuat ku kembali berpijak. Paling tidak saat itu aku ingat bahwa ada yang sedang tidak beres di semesta pikiranku.

Setelah pertanyaan pertama itu tiba, aku biasanya termenung beberapa saat. Sibuk mencari tahu "apa ya penyebabnya?", lalu kami saling bercerita tentang kemungkinan-kemungkinan yang kami duga menjadi sumber permasalahan. Haha mungkin terdengar aneh ya, since sebenernya kalau kita emosi tuh kan ya jelas penyebabnya apa, biasanya sesuatu yang baru banget terjadi. Tapi engga selalu gitu dalam kasus ku.

Misalnya ketika aku menangis setelah kena omelan, kadang aku menangis bukan karena diomeli orang, tapi bisa jadi karena rasa bersalah yg timbul akibat kesalahan ku atau bisa juga karena perasaan yang timbul karena tidak diapresiasi. Maka buatku, solusinya bukan melupakan omelan-omelan tersebut atau meminta orang tersebut untuk engga ngomel lagi di masa depan, tapi justru memperbaiki kinerja ku (biar ga merasa bersalah lagi hehe) atau lebih sabar perihal apresiasi (buatku, bisa dengan lebih banyak self-appriciation dan lurusin niat aja mahh haha).

Tapi hal ini gak selalu berjalan mulus. Seringkali, kami juga salah menerjemahkan perasaan. Kami sama-sama tahu, gak semua urusan hati bisa dirasionalisasi. Apalagi di saat-saat aku gak sanggup jujur sama diriku sendiri.

Untuk seseorang yang mengedepankan perasaan, kayak aku hehe, rambu-rambu tentang apa yang sedang ku rasa ini penting adanya. Kalo gak nanti mutung berhari-hari hanya karena ada emosi yang belum selesai dijawab. Memang, untuk ku, gak semua emosi harus diekspresikan atau dibicarakan pada orang lain. Tapi paling tidak ia sudah ku tuangkan di bilik konseling di dalam kepala ku.

-Triana



Tuesday, March 2, 2021

Harapan

 Februari kemarin, usiaku tepat 24 tahun

Wow memasuki usia yang sangat strategis. Belum terlalu tua untuk bermimpi dan tidak terlalu muda untuk mewujudkannya. Figur ku di umur segini juga yang aku sejak dulu khayalkan. Di benak ku dahulu kala, Hana di umur 24 mengenakan kaus, kemeja kotak-kotak yang tidak dikancing, celana jins, dan sedang berjalan ke sana ke mari mencari bahan berita. Hehe baru ngeuh, aku kok dulu gak bermimpi jadi pejabat atau apa gitu yang kerjanya gak panas-panasan :) Di benak ku dulu, perjuangan itu romantis pisan.

Ternyata kenyataannya gak seperti itu adanya. Aku sepertinya gak akan berpakaian kayak gitu, karena kini lebih prefer pakai rok kemana-mana wakakak. Aku juga gak ke sana kemari mencari berita, tapi aku tetap menulis berita dengan mencari informasi di internet wkwk. 

Tapi sejauh apa pun mimpiku dahulu dengan kenyataan yang sekarang, aku gak merasa jadi orang yang bermimpi dengan sia-sia. Aku ingat betul mimpi-mimpi ku aku bawa ke dalam doa-doa (kecuali tentang gaya pakaian, itu gak masuk ke doa sih wkwk). Dan kadang, di sela-sela aktivitasku yang kadang suka terlihat random banget, aku baru sadar: MasyaAllah ini kan do'a ku dahulu kala!

Misalnya, aku dulu pingiiin banget jadi jurnalis. Emang sih aku gak pernah dapet titel serupa, tapi ternyata Allah posisikan aku jadi content writer ceritaiklim. Dan kerjaannya seperti yang ku damba ketika dulu pengen jadi jurnalis! 

Misalnya, aku pernah berdoa ingin jadi ustadzah. Sebenernya aku dulu berdoa setengah hati saja, karena ibu pernah bilang "kamu jadi ustadzah aja" tapi aku dulu gak mau hehe. Tapi bertahun lalu aku dapet kesempatan ngajar anak-anak di suatu pesantren dan dipanggil ustadzah haha. Sekarang InsyaAllah mau kok! mari kita pantaskan diri belajar yaa~

Dan masih banyaaaaaak banget pertolongan Allah yang aku rasakan. Yang aku malu adalah, seringkali aku gak ngeuh bahwa nikmat atau ujian yang aku rasa adalah cara Allah mengabulkan do'aku. Seringkali aku tenggelam dalam perasaan, lupa kalau segala yang Allah suguhkan adalah apa yang terbaik adanya.

Maafin Hana ya Allah :")

Lewat tulisan ini, aku mulanya ingin bercerita tentang apa yang berubah di usia 24.

Yaitu tentang bagaimana aku berharap.

Tentu saja harapan ku banyak sekalii. Tapi kini, ketika melantunkan doa, tubuh dan pikiranku berada di posisi lebih siaga. Bukan karena aku gak percaya Allah akan mengabulkan harapan, justru karena aku yakin banget Allah Maha Mengabulkan Doa. Siaga itu datang karena aku tahu doaku akan terkabul bersama sederet konsekuensi yang aku harus siap untuk memikulnya. 

Misalnya saja, ketika aku berdoa "Ya Allah, tolong tambahkan rizki ku". Maka konsekuensi logisnya aku harus bisa lebih pintar mengelola rizki yang Allah kasih.

Dan sebagainya :)

Yang jadi catatanku di sini, dear all readers dan aku di masa depan. Jangan pernah berputus asa mencari rahmat Allah. Kasih sayang Allah tuh canggih luar biasa, maka kita juga harus canggih dalam melihatnya, menemukannya, menikmatinya, dan bersyukur atasnya.

Dear aku di masa depan (lagi wkwk),

Gausah malu-malu berharap

Hidup tu ya, buat apa lagi coba selain memaksimalkan diri buat akhirat dan semesta?

-Triana


Friday, February 5, 2021

Akumulasi

 Assalamu'alaikum

Sudah lama sekali pengen cerita tentang karier. Tapi bukan bagaimana beratnya ia, atau bagaimana menyenangkannya ia, melainkan betapa dari karier ini aku mengagumi desain kehidupan yang sudah Allah takdirkan.

Paling tidak sejak SMP, aku selalu yakin bahwa kita bisa survive dalam kehidupan bukan karena usaha kita satu-dua jam, bilagan hari, pekan, bulan, atau sejumput tahun. Tapi ada sebuah perjalanan panjang yang menghasilkan individu dengan ragam pikiran, perasaan, dan kekuatan. Momen itu bermula dari kelahiran. Tapi tentu momen tersebut sudah Allah rancang jauh melampaui umur alam semesta.

Begini permisalannya,

Waktu SMP dulu, aku pernah dianggap pintar. Wow jumawa banget haha. Tapi memang begitu, sebuah implikasi dari mendapatkan posisi di puncak klasemen kelas. Apakah aku benar-benar pintar? Belum tentu. Tapi yang jelas, saat itu aku seringkali merasa apa yang aku capai hari itu bukan karena aku rajin belajar setiap malam. Karena memang tidak rajin :). Hasil itu adalah akumulasi ilmu yang sudah aku tahu di bangku SD, etos yang Ibu Bapak dan Kakak tanamkan, proses belajar yang aku nikmati (maksudnya, aku menikmati doodling selama kelas berlangsung? hehe itu juga), teman-teman baik hati, ambisi yang tumbuh sejak masa belia,  waktu yang cukup untuk belajar, dan sebagainya. Terlalu banyak faktor. Tercipta bukan karena setiap malam aku belajar.

Teori-teorian tersebut aku genggam erat higga saat ini.

Kalau ada yang bertanya "kenapa kamu jago berbicara", untuk mempersingkat waktu mungkin aku akan menjawab "karena aku sering latihan". Tapi yang tidak aku sampaikan adalah, kemampuan bicaraku mungkin ada kaitannya dengan inferioritas yang aku rasakan saat kecil, mungkin ada kaitannya dengan hobiku menulis, mungkin ada kaitannya dengan rasa ingin tahu ku yang tinggi, mungkin ada kaitannya dengan demokrasi yang Bapak bangun di keluarga ku.

Tentu saja ini bukan hanya soal kekuatan ku. Ini juga berlaku dengan luka, ketakutan, dan kelemahan yang aku punya. Yang setiap kita punya. Ia terbangun, mungkin, bukan secara instan.

Bahkan untuk mengacu pada yang lebih purba, semua kecenderungan ini bisa jadi sudah dikode dalam DNA.

Dan jangan lupa, balik lagi, aku orang yang percaya pada takdir. Bahwa semua sudah Allah susun sedemikian rupa. Jatuh-bangun kita. Mimpi yang tercapai atau yang kita anggap sia-sia. Orang-orang yang kita jumpa. Sebuah proses yang lama, nyata, dan pasti sudah Allah buat ia sebaik-baiknya.

***

Kembali berbicara soal karier,

Waktu tahun terakhir perkuliahan, aku kira aku jatuh cinta amat sangat pada dunia ilmiah. Aku tahu separuh hatiku bilang tidak. Tapi aku bilang ke diriku, kita nikmati saja siapa tahu kita bisa.

Dulu, Hana kecil ingin jadi jurnalis. Terjun ke dunia ilmiah seutuhnya, mungkin akan melukai ego masa kecilnya. Meskipun Hana kecil sudah tergantikan, ia sisakan sedikit jejak pengharapan. "Aku mau mengubah dunia dengan kata". 

Aku mentranslasi mimpi Hana kecil dengan gagasan yang lebih tidak kekanakan "aku ingin meningkatkan literasi di Indonesia". Ini tidak berbeda. Hanya saja Hana kecil dulu belum tahu kata-kata itu haha. 

Waktu aku lulus, aku kira mimpiku hanya akan jadi sebatas kata yang terus aku tunda. Tunda terus sampai aku anggap aku punya cukup sumber daya. "Bagaimana caranya sampai ke sana?" 

Sampai suatu hari, ketika akan wawancara di perusahaan ku sekarang bekerja, betapa kagumnya aku pada jalan cerita yang Ia cipta. Ternyata visiku dan perusahanku tidak beda jauh. Beda sih, ya namanya juga institusi. Tapi ternyata, kalau keterima, aku tidak perlu menunda mimpi. Aku akan berjalan pada jalan setapak menuju kepadanya.

Apakah aku bisa meniti karier ini karena aku lulusan biologi?

Menurut bapak dan ibu, meski mereka tidak secara eksplisit mengatakannya, kemungkinkan aku diterima karena aku lulusan universitas x. Mungkin saja. Aku tidak tahu, tapi jelas aku menyangkal. Bagiku, lebih logis jika kita melihat jauh kebelakang. Salah satunya adalah hari ketika aku bilang "aku ingin mengubah dunia dengan kata." Saat itu aku sedang suka-sukanya menulis blog, membaca sastra, dan menikmati cara guru-guruku mengajar. 

Setiap kali memikirkan ini, kepalaku seperti disuguhi lantunan lagu yang sangat lembut. Hatiku terasa lapang. Dan berkali-kali aku ingin bilang: Makasih Ya Allah.

Dari situ,

Cita-citaku mungkin esok lusa berganti.

Dan hari-hariku mungkin tidak selalu berjalan sempurna. 

Tapi aku selalu punya tempat bergantung yang sempurna. 


Cukup bagiku.

-Triana dan lantunan lagu lembut di kepala