Assalamu'alaikum!
Siapa yang di sini punya kebiasaan untuk menerjemahkan emosi diri?
Itu aku!
hehe
Setelah punya lebih banyak teman, aku baru mengerti kalau orang menyikapi emosinya dengan cara yang beragam. Ada yang harus mengekspresikannya, ada yang pintar menyimpannya rapat-rapat, ada yang sekadar harus dituangkan dalam cerita, atau memilih untuk tidak ambil pusing tentangnya.
Tapi bagiku, emosi ku harus diterjemahkan. Dipereteli hingga akar-akarnya. Engga selalu harus disampaikan, aku cuman ingin tahu apa yang sebenarnya aku rasakan.
Mungkin dahulu kala, mekanisme itu aku gunakan untuk bisa retas di dunia. Agar cepat-cepat tahu apa yang harus aku lakukan untuk mengatasi masalah. Tapi lama-kelamaan ia jadi kebiasaan. Ketika pikiranku sedang begitu gelisan atau mengawang-awang, pertanyaan dari hati "kamu kenapa Han? ayo sini cerita" adalah kata-kata yang membuat ku kembali berpijak. Paling tidak saat itu aku ingat bahwa ada yang sedang tidak beres di semesta pikiranku.
Setelah pertanyaan pertama itu tiba, aku biasanya termenung beberapa saat. Sibuk mencari tahu "apa ya penyebabnya?", lalu kami saling bercerita tentang kemungkinan-kemungkinan yang kami duga menjadi sumber permasalahan. Haha mungkin terdengar aneh ya, since sebenernya kalau kita emosi tuh kan ya jelas penyebabnya apa, biasanya sesuatu yang baru banget terjadi. Tapi engga selalu gitu dalam kasus ku.
Misalnya ketika aku menangis setelah kena omelan, kadang aku menangis bukan karena diomeli orang, tapi bisa jadi karena rasa bersalah yg timbul akibat kesalahan ku atau bisa juga karena perasaan yang timbul karena tidak diapresiasi. Maka buatku, solusinya bukan melupakan omelan-omelan tersebut atau meminta orang tersebut untuk engga ngomel lagi di masa depan, tapi justru memperbaiki kinerja ku (biar ga merasa bersalah lagi hehe) atau lebih sabar perihal apresiasi (buatku, bisa dengan lebih banyak self-appriciation dan lurusin niat aja mahh haha).
Tapi hal ini gak selalu berjalan mulus. Seringkali, kami juga salah menerjemahkan perasaan. Kami sama-sama tahu, gak semua urusan hati bisa dirasionalisasi. Apalagi di saat-saat aku gak sanggup jujur sama diriku sendiri.
Untuk seseorang yang mengedepankan perasaan, kayak aku hehe, rambu-rambu tentang apa yang sedang ku rasa ini penting adanya. Kalo gak nanti mutung berhari-hari hanya karena ada emosi yang belum selesai dijawab. Memang, untuk ku, gak semua emosi harus diekspresikan atau dibicarakan pada orang lain. Tapi paling tidak ia sudah ku tuangkan di bilik konseling di dalam kepala ku.
-Triana
No comments:
Post a Comment