***
Tidakkah Kamu Ingin Pulang?
I
Kamu bilang di sana begitu
indah. Kamu tak sengaja menemukan tempat itu sesaat setelah kita berjumpa. Ia
tak lebih dari sebuah lubang gelap, dan layaknya lubang hitam di angkasa yang
menarik benda langit, ia pun menghisapmu, membuatmu jatuh tersungkur ke
dalamnya. Tak ada yang tahu kamu di sana, selain aku yang ingin mengajakmu
pulang. Lubang itu tak seberapa dalam, namun kamu tak mau beranjak. Aku bersikeras
bahwa kamu harus segara naik, namun kamu bersikeras menolak. Ku dengar suaramu
semakin lama semakin jauh, dan binar matamu perlahan menghilang di balik gelap.
Aku tersentak, lubang ini semakin dalam, dan kekuatanmu seakan luntur
dikalahkan gravitasi. Tidakkah kamu ingin pulang?
II
Nama ku Reda, siswi SMA berumur
17 tahun. Sedang sibuk menyesuaikan diri dengan malam yang kini beralih fungsi
menjadi waktu untuk terus terjaga, dan siang yang menjadi waktu untuk berjuang
melawan kantuk yang terakumulasi sejak malam. Setidaknya aku harus mensyukuri nikmat
berupa akhir pekan, ketika aku bisa kembali disebut manusia.
Pagi ini seperti biasa, aku bangun pukul 4 dini hari setelah terlelap 2 jam. Hari ini
akan ada ulangan fisika, dan karena itulah aku harus merelakan dua per tiga
waktu tidurku untuk menjejal otak dengan rumus gelombang. Aku menyeret kaki ku
menuju kamar mandi. Aku ambil air wudhu meski harus menahan rasa dingin. Tak
apa, setidaknya dinginnya mampu membantu ku mengumpulkan ‘nyawa’. Aku kembali
ke kamar, menggelar sajadah dan melaksanakan shalat sunnah. Tak ada yang
spesial, sama saja seperti hari biasanya.
Setelah selesai, aku memeriksa
ponselku. Menemukan 1 pesan singkat baru.
“Selamat pagi Reda, apa kabar?”
Dia lagi. Dia yang telah
mengirimkan 20 pesan minggu ini. 2 pesannya ku jawab singkat, sisanya ku
biarkan saja. Untuk apa berkali-kali menanyakan kabar?
Sebenarnya ia adalah seorang
teman lama, bertahun-tahun kami tidak berjumpa dan baru seminggu kemarin
kembali bertemu dalam acara reuni sekolah dasar. Aku datang ke sana sebenarnya
untuk bertemu sahabat-sahabat lama ku, termasuk Leni yang dulu adalah sahabat
karibku. Namun ternyata, kedatanganku membuahkan efek yang entah berjangka
hingga kapan, berupa pesan-pesan singkat darinya. Ia bersekolah di luar kota,
dan baru pulang ke Jakarta sekarang. Tapi jika memang ingin tahu kabar, rasanya
pertemuan tempo hari sudah cukup menjawab.
Aku segera beranjak untuk mandi
dan berpakaian. Biarkan saja pesannya, dan ku harap ia juga akan berpikir sama.
Untuk membiarkan aku dengan hidupku dan tanpa gangguan pesan singkat. Setelah
selesai berpakaian, aku segera menuju ruang makan untuk sarapan dilanjutkan
dengan pamit dan berangkat sekolah. Meninggalkan rumah mungilku di Jalan Warna
nomor dua.
Hari ini, setidaknya satu per
tiga hari ini berjalan baik dan lancar. Ulangan fisika dapat aku selesaikan
dengan baik. Pelajaran lain juga terasa menarik. Tak ada yang mengganjal hati,
hari ini seperti hari kebanyakan, berjalan biasa saja. Aku menikmati waktu
luangku memerhatikan langit sore. Ku lihat matahari meniti waktu, menitip pesan
selamat tinggal pada langit yang berlukis senja.
Sayangnya, hari biasa saja milikku
harus berakhir saat ini jua, ketika sebuah pesan singkat kembali tertera di
layar ponsel. Sebuah pesan ke 21 dalam 8 hari terakhir.
“Mengapa kau tak pernah
membalas pesan ku lagi Reda?”
Sungguh, aku tak pernah
membalas bukan karena aku ingin memutus tali pertemanan atau karena aku tak
sudi bertukar kabar. Tapi bagiku semua pertanyaan ini berlebihan, dan tak
bermakna apa-apa. Biarlah, biarlah ia lelah bersama waktu yang kian menua
III
Gelap katamu. Suaramu kini
menggema, dan aku tahu lubang ini semakin dalam. Aku memohon kepada mu agar kau
lekas naik, aku katakan pada mu bahwa aku melihat ada tali tambang yang
menjulur ke dalam, tepat di sisi lubang. Kamu terus menolak. Kamu bilang di
dalam hangat, dan udara itu mengalir memenuhi rongga dada mu, memberikanmu
sensasi yang tak terbilang nyaman. Aku sesungguhnya khawatir, tapi tak tahu
harus berbuat apa. Ku lemparkan sebatang lilin dan sebuah korek ke dalam. Namun
kamu malah tertawa. Sebuah tawa yang menggema. Kamu bilang di dalam memang
gelap, namun kamu menikmatinya. Entah sampai kapan kamu bertahan dalam gelap
yang membutakan, sungguh aku takut dalam hitungan waktu hati mu turut serta.
Aku kini hanya dapat diam, dan kau malah mengajakku untuk turut serta ke dalam.
Sungguh ini hal terkonyol yang pernah aku hadapi.
Tidakkah kamu ingin pulang?
IV
Sebuah pagi yang baru. Ketika
matahari bahkan belum bersinar sendu, aku dibangunkan oleh suara bising alarm. Pukul 4 pagi. Aku menyeret kaki
ku menuju kamar mandi. Aku ambil air wudhu meski harus menahan rasa dingin. Tak
apa, setidaknya dinginnya mampu membantu ku mengumpulkan ‘nyawa’. Aku kembali
ke kamar, menggelar sajadah dan melaksanakan shalat sunnah. Tak ada yang
spesial, sama saja seperti hari biasanya.
Setelah selesai aku memeriksa
ponselku. Tak ada pesan apapun. Syukurlah, pagi ini tak ada lagi pulsa yang
harus kau relakan untuk mengirim kesia-siaan. Aku segera beranjak untuk mandi
dan berpakaian. Sesudahnya, aku menuju ruang makan untuk sarapan dan berpamitan.
Hari ini aku diantar ayah, dan
ketika ayah membuka pagar ia menemukan sebuah amplop putih yang terlihat
sengaja disangkutkan di depan rumah.
“Surat dari siapa yah?”
“Entahlah, tapi ini untuk kamu
Da.”
Aku terperanjat, seumur-umur
hanya 2 kali aku mendapatkan surat yang kedua-duanya dari sepupuku yang kala
itu sedang mengerjakan tugas bahasa Indonesia, dan kini aku mendapatkan surat
ke-tiga yang tak bernama. Aku masukkan surat itu ke dalam tas, dan motor ayah
ku melaju melintasi jalan kota Jakarta. Tak sampai 15 menit, motor ayah ku
merapat di gerbang sekolah. Aku berpamitan dan melangkah menuju gerbang.
Sejujurnya, aku begitu
penasaran dengan isi surat itu. Maka aku bergegas menuju kelas, berharap tak ada
siswa lain yang telah sampai agar aku bisa lebih leluasa membaca. Sesampainya
di kelas, ternyata harapan ku terwujud, aku murid pertama yang hadir. Kelas ku
yang biasanya dihuni 35 siswa itu masih kosong dari kehidupan, dan posisinya
yang ada di lantai paling atas membuat kesan sepi itu semakin kental. Maka
segera ku letakkan semua bawaan ku, ku turunkan kursi dari atas meja, dan ku
ambil sepucuk surat dari tas ku. Ku robek amplop putih yang tak bernama itu. Ku
tarik napas panjang dan ku buka surat itu.
“
Jakarta, 18 Agustus 2014
Reda,
Aku tahu ini terdengar konyol
dan tak masuk akal. Setiap hari aku menanyakan kabar mu, namun tak pernah lagi
kau balas. Tahukah engkau, aku habiskan setiap waktu ku untuk berharap balasan
mu. Aku sesungguhnya mengagumi sikap mu
yang teguh untuk tidak membalas perhatian ku. Sikap mu yang selalu sederhana
terlebih dihadapan orang-orang lain yang berlawanan jenis. Sikap mu yang tak
pernah sibuk mencari perhatian di kala beberapa orang lain mengimisnya. Tapi
sikap itulah yang membuat hati ku semakin luluh lantah. Sesungguhnya aku
mencintai mu, dan aku seakan dibutakan olehnya.
Entah apa penilaian mu, Reda.
Kelak aku harus kembali meninggalkan Jakarta untuk melanjutkan studi ku. Aku
tak berharap cinta ini mampu berwujud. Tapi aku berharap kepastian bahwa suatu
saat ia mampu terwujud. Reda, maukah kau kelak menjadi pendamping hidup ku?
Memang bukan dalam waktu dekat, toh kita sama-sama masih mencari ilmu, tapi aku
harap kamu dapat memberikan ku kepastian. Hingga suatu saat ketika aku pulang,
aku tahu kepada siapa aku harus berhadapan, dan ku harap ayah mu adalah
jawaban. Ku tunggu balasan mu senin depan, dan apapun jawaban mu itu aku
sungguh akan mencoba untuk menerima.
-Deru
“
Aku tak pernah membaca surat
itu sampai selesai. Aku begitu malu pada diri ku sendiri. Bukankah sudah banyak
jalan yang ku tempuh untuk perlahan lebih menjaga diri. Tapi mengapa masih ada
hal semacam ini yang harus ku hadapi? Ini pesan ke 22 dalam 9 hari terakhir.
Meskipun berbeda, ia sama-sama sia-sia.
Ketika sahabat ku datang, aku
menceritakan soal surat itu kepadanya. Aku biarkan ia membacanya, meski ia
langsung tertawa pada paragraf pertama.
“Lah terus kamu gamau jawab?”
“Ya enggak lah, untuk apa? Kita
masih sekolah belum waktunya berpikir ke sana.”
“Hmm benar juga, lagian aku
rasa dia sudah tahu ke mana prinsip kamu. Kenapa ya dia masih teguh dengan
keinginannya?”
“Entahlah.”
Aku juga tidak mengerti. Kamu
mengatakan bahwa kamu sungguh tahu aku tak ingin diganggu soal urusan cinta,
dan kamu malah membiarkan dirimu tenggelam dalam perasaan yang membutakan.
Sungguh, aku takut kelak hati mu akan turut gelap seperti apa yang kau
lihat, dan gulita menghabisimu dalam
sesat. Bangunlah Deru, jangan biarkan dunia mu hanyut oleh arus perasaan yang
tak perlu. Aku tak menjawab pesan-pesanmu, bukan karena aku ingin kau mati
dalam tanda tanya. Namun aku ingin kau tahu, bahwa tak melulu cinta harus kau
turuti. Biarkan suatu saat ia memang hadir untuk berlabuh pada orang yang
tepat, bukan sekarang ketika muda mu lebih butuh waktu, bukan candu.
Aku mengetahui akhir dari surat
itu dari sahabatku yang membacanya. Sesudahnya, beberapa waktu setelah aku
sampai di rumah, surat itu telah berubah wujud menjadi abu.
Sebagaimana belasan pesan
singkat yang beberapa hari kemudian masih menjejali ponselku, secarik surat itu
tak pernah terbalas.
V
Aku tak dapat berbuat apa-apa
lagi. Sudah jelas, aku tak akan terima ajakannya untuk jatuh ke lubang yang
sama. Senyaman apapun, seindah apapun. Ku tatap langit jingga yang sedang
menyelimuti cakrawala. Betapa sedih diri mu yang tak bisa melihat indahnya
senja hari ini. Aku tak tahu lagi bagaimana cara mengajakmu pulang tapi hari sudah menjelang larut. Maka aku
kemas segala cemas, dan ku berteriak ke dalam lubang.
“Kawan, aku akan pulang. Hari sudah
menjelang larut. Jika kamu ingin naik kamu hanya perlu meniti tali, jika kau
ingin terus ada di sana aku hanya ingin bilang bahwa langit senja pasti lebih
indah dari gelap di bawah sana. Kamu yang menilai sendiri mana yang lebih baik
bagimu. Selamat sore kawan!”
Aku berlari kecil menuju rumah,
entahlah kamu akan memilih apa. Tapi, tidakkah kamu ingin pulang?
VI
8 tahun kemudian...
Aku tak pernah bilang bahwa
dalam 8 tahun terakhir aku tidak menyimpan rahasia apa-apa. Terlebih soal isi
hati. Sorot mata itu, meski tak lebih dari 1 kali dalam 10 tahun ini aku
jumpai, tetap menjadi favorit ku.
Hari ini mungkin kesempatan terakhir bagi ku
untuk kembali menatapnya, sebelum aku menghabiskan umur ku untuk mengabdi di
negeri orang. Setelah berkemas, dan memastikan tak ada yang bertinggal, aku
kembali mematut diri ku di depan cermin. Ku benarkan letak peniti di sisi
jilbabku, dan aku siap untuk sepenuhnya meninggalkan rumah mungil ini. Untuk
selanjutnya mengabdi sebagai dokter di negara kecil di perbatasan India.
Hanya satu tempat yang akan ku
datangi sebelum berakhir di bandara. Sebuah acara reuni sekolah dasar, yang
diadakan lagi setelah sempat mati suri selama 8 tahun terakhir. Betapa lega
rasanya kembali menemukan paras-paras teman kecil ku yang telah berevolusi.
Tapi dalam tiap kelegaan itu, sesungguhkan aku mencari sorot mata yang telah
aku kenang cukup lama.
Ah, aku menemukannya di sudut
ruang. Ia bersanding dengan seseorang yang sepertinya juga ku kenal. Aku
menghampirinya, dan mata kami beradu. Meski begitu, ia yang menyapaku pertama.
“Reda?”
“Iya, kamu Leni kan?”
Kami berpelukan sebagaimana dua
orang teman lama. Aku mengenalkan suami ku kepadanya, dan ia mengenalkan
suaminya kepada ku dan suamiku. Betapa bahagianya aku kembali bertemu dengan
sahabat ku Leni, terlebih ia bersanding dengan lelaki itu yang belakangan aku
tahu bahwa dahulu ia memilih untuk meniti tali, keluar dari lubang gelap yang
menjebaknya. Bukankah benar, senja jauh lebih indah dari pada gelap yang kau
bilang?
Aku bersyukur kamu memilih
pulang, Deru. {
No comments:
Post a Comment