Saturday, September 20, 2014

#cerpen: Tidakkah Kamu Ingin Pulang?

Beberapa tahun belakangan lagi suka belajar nulis cerpen dan menghindari tema cinta-cintaan. Tapi untuk kali ini karena harus muter otak nyari tema yang sesuai sama tugas Bahasa Indonesia yang punya kriterianya sendiri, jadi cinta juga ujung-ujungnya. Selamat membaca perspektif yang mungkin tak sama :D

***
Tidakkah Kamu Ingin Pulang?

I
Kamu bilang di sana begitu indah. Kamu tak sengaja menemukan tempat itu sesaat setelah kita berjumpa. Ia tak lebih dari sebuah lubang gelap, dan layaknya lubang hitam di angkasa yang menarik benda langit, ia pun menghisapmu, membuatmu jatuh tersungkur ke dalamnya. Tak ada yang tahu kamu di sana, selain aku yang ingin mengajakmu pulang. Lubang itu tak seberapa dalam, namun kamu tak mau beranjak. Aku bersikeras bahwa kamu harus segara naik, namun kamu bersikeras menolak. Ku dengar suaramu semakin lama semakin jauh, dan binar matamu perlahan menghilang di balik gelap. Aku tersentak, lubang ini semakin dalam, dan kekuatanmu seakan luntur dikalahkan gravitasi. Tidakkah kamu ingin pulang?
II
Nama ku Reda, siswi SMA berumur 17 tahun. Sedang sibuk menyesuaikan diri dengan malam yang kini beralih fungsi menjadi waktu untuk terus terjaga, dan siang yang menjadi waktu untuk berjuang melawan kantuk yang terakumulasi sejak malam. Setidaknya aku harus mensyukuri nikmat berupa akhir pekan, ketika aku bisa kembali disebut manusia.
Pagi  ini seperti biasa, aku bangun pukul  4 dini hari setelah terlelap 2 jam. Hari ini akan ada ulangan fisika, dan karena itulah aku harus merelakan dua per tiga waktu tidurku untuk menjejal otak dengan rumus gelombang. Aku menyeret kaki ku menuju kamar mandi. Aku ambil air wudhu meski harus menahan rasa dingin. Tak apa, setidaknya dinginnya mampu membantu ku mengumpulkan ‘nyawa’. Aku kembali ke kamar, menggelar sajadah dan melaksanakan shalat sunnah. Tak ada yang spesial, sama saja seperti hari biasanya.
Setelah selesai, aku memeriksa ponselku. Menemukan 1 pesan singkat baru.
Selamat pagi Reda, apa kabar?”
Dia lagi. Dia yang telah mengirimkan 20 pesan minggu ini. 2 pesannya ku jawab singkat, sisanya ku biarkan saja. Untuk apa berkali-kali menanyakan kabar?
Sebenarnya ia adalah seorang teman lama, bertahun-tahun kami tidak berjumpa dan baru seminggu kemarin kembali bertemu dalam acara reuni sekolah dasar. Aku datang ke sana sebenarnya untuk bertemu sahabat-sahabat lama ku, termasuk Leni yang dulu adalah sahabat karibku. Namun ternyata, kedatanganku membuahkan efek yang entah berjangka hingga kapan, berupa pesan-pesan singkat darinya. Ia bersekolah di luar kota, dan baru pulang ke Jakarta sekarang. Tapi jika memang ingin tahu kabar, rasanya pertemuan tempo hari sudah cukup menjawab.
Aku segera beranjak untuk mandi dan berpakaian. Biarkan saja pesannya, dan ku harap ia juga akan berpikir sama. Untuk membiarkan aku dengan hidupku dan tanpa gangguan pesan singkat. Setelah selesai berpakaian, aku segera menuju ruang makan untuk sarapan dilanjutkan dengan pamit dan berangkat sekolah. Meninggalkan rumah mungilku di Jalan Warna nomor dua.
Hari ini, setidaknya satu per tiga hari ini berjalan baik dan lancar. Ulangan fisika dapat aku selesaikan dengan baik. Pelajaran lain juga terasa menarik. Tak ada yang mengganjal hati, hari ini seperti hari kebanyakan, berjalan biasa saja. Aku menikmati waktu luangku memerhatikan langit sore. Ku lihat matahari meniti waktu, menitip pesan selamat tinggal pada langit yang berlukis senja.
Sayangnya, hari biasa saja milikku harus berakhir saat ini jua, ketika sebuah pesan singkat kembali tertera di layar ponsel. Sebuah pesan ke 21 dalam 8 hari terakhir.
“Mengapa kau tak pernah membalas pesan ku lagi Reda?”
Sungguh, aku tak pernah membalas bukan karena aku ingin memutus tali pertemanan atau karena aku tak sudi bertukar kabar. Tapi bagiku semua pertanyaan ini berlebihan, dan tak bermakna apa-apa. Biarlah, biarlah ia lelah bersama waktu yang kian menua
III
Gelap katamu. Suaramu kini menggema, dan aku tahu lubang ini semakin dalam. Aku memohon kepada mu agar kau lekas naik, aku katakan pada mu bahwa aku melihat ada tali tambang yang menjulur ke dalam, tepat di sisi lubang. Kamu terus menolak. Kamu bilang di dalam hangat, dan udara itu mengalir memenuhi rongga dada mu, memberikanmu sensasi yang tak terbilang nyaman. Aku sesungguhnya khawatir, tapi tak tahu harus berbuat apa. Ku lemparkan sebatang lilin dan sebuah korek ke dalam. Namun kamu malah tertawa. Sebuah tawa yang menggema. Kamu bilang di dalam memang gelap, namun kamu menikmatinya. Entah sampai kapan kamu bertahan dalam gelap yang membutakan, sungguh aku takut dalam hitungan waktu hati mu turut serta. Aku kini hanya dapat diam, dan kau malah mengajakku untuk turut serta ke dalam. Sungguh ini hal terkonyol yang pernah aku hadapi.
Tidakkah kamu ingin pulang?
IV
Sebuah pagi yang baru. Ketika matahari bahkan belum bersinar sendu, aku dibangunkan oleh suara bising alarm. Pukul 4 pagi. Aku menyeret kaki ku menuju kamar mandi. Aku ambil air wudhu meski harus menahan rasa dingin. Tak apa, setidaknya dinginnya mampu membantu ku mengumpulkan ‘nyawa’. Aku kembali ke kamar, menggelar sajadah dan melaksanakan shalat sunnah. Tak ada yang spesial, sama saja seperti hari biasanya.
Setelah selesai aku memeriksa ponselku. Tak ada pesan apapun. Syukurlah, pagi ini tak ada lagi pulsa yang harus kau relakan untuk mengirim kesia-siaan. Aku segera beranjak untuk mandi dan berpakaian. Sesudahnya, aku menuju ruang makan untuk sarapan dan berpamitan.
Hari ini aku diantar ayah, dan ketika ayah membuka pagar ia menemukan sebuah amplop putih yang terlihat sengaja disangkutkan di depan rumah.
“Surat dari siapa yah?”
“Entahlah, tapi ini untuk kamu Da.”
Aku terperanjat, seumur-umur hanya 2 kali aku mendapatkan surat yang kedua-duanya dari sepupuku yang kala itu sedang mengerjakan tugas bahasa Indonesia, dan kini aku mendapatkan surat ke-tiga yang tak bernama. Aku masukkan surat itu ke dalam tas, dan motor ayah ku melaju melintasi jalan kota Jakarta. Tak sampai 15 menit, motor ayah ku merapat di gerbang sekolah. Aku berpamitan dan melangkah menuju gerbang.
Sejujurnya, aku begitu penasaran dengan isi surat itu. Maka aku bergegas menuju kelas, berharap tak ada siswa lain yang telah sampai agar aku bisa lebih leluasa membaca. Sesampainya di kelas, ternyata harapan ku terwujud, aku murid pertama yang hadir. Kelas ku yang biasanya dihuni 35 siswa itu masih kosong dari kehidupan, dan posisinya yang ada di lantai paling atas membuat kesan sepi itu semakin kental. Maka segera ku letakkan semua bawaan ku, ku turunkan kursi dari atas meja, dan ku ambil sepucuk surat dari tas ku. Ku robek amplop putih yang tak bernama itu. Ku tarik napas panjang dan ku buka surat itu.
Jakarta, 18 Agustus 2014
Reda,
Aku tahu ini terdengar konyol dan tak masuk akal. Setiap hari aku menanyakan kabar mu, namun tak pernah lagi kau balas. Tahukah engkau, aku habiskan setiap waktu ku untuk berharap balasan mu.  Aku sesungguhnya mengagumi sikap mu yang teguh untuk tidak membalas perhatian ku. Sikap mu yang selalu sederhana terlebih dihadapan orang-orang lain yang berlawanan jenis. Sikap mu yang tak pernah sibuk mencari perhatian di kala beberapa orang lain mengimisnya. Tapi sikap itulah yang membuat hati ku semakin luluh lantah. Sesungguhnya aku mencintai mu, dan aku seakan dibutakan olehnya.
Entah apa penilaian mu, Reda. Kelak aku harus kembali meninggalkan Jakarta untuk melanjutkan studi ku. Aku tak berharap cinta ini mampu berwujud. Tapi aku berharap kepastian bahwa suatu saat ia mampu terwujud. Reda, maukah kau kelak menjadi pendamping hidup ku? Memang bukan dalam waktu dekat, toh kita sama-sama masih mencari ilmu, tapi aku harap kamu dapat memberikan ku kepastian. Hingga suatu saat ketika aku pulang, aku tahu kepada siapa aku harus berhadapan, dan ku harap ayah mu adalah jawaban. Ku tunggu balasan mu senin depan, dan apapun jawaban mu itu aku sungguh akan mencoba untuk menerima.
-Deru
Aku tak pernah membaca surat itu sampai selesai. Aku begitu malu pada diri ku sendiri. Bukankah sudah banyak jalan yang ku tempuh untuk perlahan lebih menjaga diri. Tapi mengapa masih ada hal semacam ini yang harus ku hadapi? Ini pesan ke 22 dalam 9 hari terakhir. Meskipun berbeda, ia sama-sama sia-sia.
Ketika sahabat ku datang, aku menceritakan soal surat itu kepadanya. Aku biarkan ia membacanya, meski ia langsung tertawa pada paragraf pertama.
“Lah terus kamu gamau jawab?”
“Ya enggak lah, untuk apa? Kita masih sekolah belum waktunya berpikir ke sana.”
“Hmm benar juga, lagian aku rasa dia sudah tahu ke mana prinsip kamu. Kenapa ya dia masih teguh dengan keinginannya?”
“Entahlah.”
Aku juga tidak mengerti. Kamu mengatakan bahwa kamu sungguh tahu aku tak ingin diganggu soal urusan cinta, dan kamu malah membiarkan dirimu tenggelam dalam perasaan yang membutakan. Sungguh, aku takut kelak hati mu akan turut gelap seperti apa yang kau lihat,  dan gulita menghabisimu dalam sesat. Bangunlah Deru, jangan biarkan dunia mu hanyut oleh arus perasaan yang tak perlu. Aku tak menjawab pesan-pesanmu, bukan karena aku ingin kau mati dalam tanda tanya. Namun aku ingin kau tahu, bahwa tak melulu cinta harus kau turuti. Biarkan suatu saat ia memang hadir untuk berlabuh pada orang yang tepat, bukan sekarang ketika muda mu lebih butuh waktu, bukan candu.
Aku mengetahui akhir dari surat itu dari sahabatku yang membacanya. Sesudahnya, beberapa waktu setelah aku sampai di rumah, surat itu telah berubah wujud menjadi abu.
Sebagaimana belasan pesan singkat yang beberapa hari kemudian masih menjejali ponselku, secarik surat itu tak pernah terbalas.
V
Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi. Sudah jelas, aku tak akan terima ajakannya untuk jatuh ke lubang yang sama. Senyaman apapun, seindah apapun. Ku tatap langit jingga yang sedang menyelimuti cakrawala. Betapa sedih diri mu yang tak bisa melihat indahnya senja hari ini. Aku tak tahu lagi bagaimana cara mengajakmu pulang  tapi hari sudah menjelang larut. Maka aku kemas segala cemas, dan ku berteriak ke dalam lubang.
“Kawan, aku akan pulang. Hari sudah menjelang larut. Jika kamu ingin naik kamu hanya perlu meniti tali, jika kau ingin terus ada di sana aku hanya ingin bilang bahwa langit senja pasti lebih indah dari gelap di bawah sana. Kamu yang menilai sendiri mana yang lebih baik bagimu. Selamat sore kawan!”
Aku berlari kecil menuju rumah, entahlah kamu akan memilih apa. Tapi, tidakkah kamu ingin pulang?
VI
8 tahun kemudian...
Aku tak pernah bilang bahwa dalam 8 tahun terakhir aku tidak menyimpan rahasia apa-apa. Terlebih soal isi hati. Sorot mata itu, meski tak lebih dari 1 kali dalam 10 tahun ini aku jumpai, tetap menjadi favorit ku.
 Hari ini mungkin kesempatan terakhir bagi ku untuk kembali menatapnya, sebelum aku menghabiskan umur ku untuk mengabdi di negeri orang. Setelah berkemas, dan memastikan tak ada yang bertinggal, aku kembali mematut diri ku di depan cermin. Ku benarkan letak peniti di sisi jilbabku, dan aku siap untuk sepenuhnya meninggalkan rumah mungil ini. Untuk selanjutnya mengabdi sebagai dokter di negara kecil di perbatasan India.
Hanya satu tempat yang akan ku datangi sebelum berakhir di bandara. Sebuah acara reuni sekolah dasar, yang diadakan lagi setelah sempat mati suri selama 8 tahun terakhir. Betapa lega rasanya kembali menemukan paras-paras teman kecil ku yang telah berevolusi. Tapi dalam tiap kelegaan itu, sesungguhkan aku mencari sorot mata yang telah aku kenang cukup lama.
Ah, aku menemukannya di sudut ruang. Ia bersanding dengan seseorang yang sepertinya juga ku kenal. Aku menghampirinya, dan mata kami beradu. Meski begitu, ia yang menyapaku pertama.
“Reda?”
“Iya, kamu Leni kan?”
Kami berpelukan sebagaimana dua orang teman lama. Aku mengenalkan suami ku kepadanya, dan ia mengenalkan suaminya kepada ku dan suamiku. Betapa bahagianya aku kembali bertemu dengan sahabat ku Leni, terlebih ia bersanding dengan lelaki itu yang belakangan aku tahu bahwa dahulu ia memilih untuk meniti tali, keluar dari lubang gelap yang menjebaknya. Bukankah benar, senja jauh lebih indah dari pada gelap yang kau bilang? 

Aku bersyukur kamu memilih pulang, Deru. {

No comments:

Post a Comment