Kursi kayu di pojokan ruang tamu, sedang tersenyum getir.
Esok lusa mungkin tak kan lagi ia dengar suara lengkingan biola dari kamar sebelah, atau decitan pintu yang sudah lama tidak diminyaki.
35 Tahun sudah saat terakhir kali ia dengar derit suara gergaji, dan dentuman palu. Bagai ibu yang melahirkan, ia harus rela tubuhnya sakit luar biasa. Ditusuk oleh tajamnya paku. Dipotong oleh gergaji yang bergerigi. Diolesi pelitur yang membuat panas tubuh hingga kaki. Namun ketika semua itu selesai maka ia telah terlahir sebagai pribadi yang baru. Sebuah kursi duduk ruang tamu, lengkap dengan sandaran punggung dan tangan dengan harum kayu.
35 Tahun sudah hidupnya terpaku menjadi saksi. Ketika Keluarga Lestari pertama kali menatanya pada sebuah pojok ruang tamu. Dan sejak saat itu, kekosongan tak pernah hadir dalam hidupnya. Suara tangis pertama Wita -- Anak pertama Keluarga Lestari --, pertengkaran, jeritan ketakutan, tawa bahagia, tepukan tangan, nyanyian lagu ulang tahun, gemuruh air hujan, meongan kucing kampung depan rumah, hingga suara tangis haru ketika Wita pamit untuk membina keluarganya sendiri, telah memenuhi pori-pori kulitnya. Bahkan ketika tengah malam sekalipun, kursi tua di pojokan tak pernah kesepian. Suara jangkrik, gesekan angin, dan obrolan kunang-kunang telah buatnya cukup tenang tuk terlelap semalaman.
Pernah suatu waktu. Dirinya harus mendapatkan giliran tuk masuk ke ruang gelap yang dingin. Sungguh hanya ada rasa sedih di sana, di dalamnya. Ada banyak barang tua lainnya yang bersama-sama berbagi kesedihan dan nestapa, namun baginya berbagi semacam itu bukanlah yang ia ingin dan ia cari. Maka bersabarlah ia menunggu waktu ketika sinar mentari kembali menatapnya, dan semua menjadi nyata ketika terdengar kabar bahwa kursi rotan yang baru dibeli tidak dapat bertahan lama. Mungkin karena pojokan ruang tamu telah berjanji untuk setia bersamanya, mungkin juga karena takdir belaka.
Menjadi kursi kayu, mungkin bukan cita-citanya dahulu. Ada banyak perabot lain yang dapat dipakai setiap waktu. Misal almari, meja, pintu, bahkan talenan, bukankah mereka lebih berguna dari pada sebuah kursi yang diletakan di pojok ruang tamu? Hanya dicari ketika sanak saudara datang berkunjung di hari lebaran. Itupun untuk diduduki barang setengah jam saja, lantas ditinggalkan dengan remah-remah kue kering yang manis. Namun memang menjadi kursi dipojokan tak terlalu buruk jua. Ketika hari mendung, kadang salah satu anak Ibu datang tuk hangatkan badan sang kursi. Duduk berlama-lama, berpikir tentang ini-itu dan masa depan. Kadang sambil termenung dan mencatat. Kadang duduk hingga terlelap.
35 tahun berdiri di pojokan ruang tamu, membuatnya terbiasa menyaksikan pintu terbuka dan tertutup. Ketika gagangnya ditekan, maka tanpa dipandu segala emosi dan eskpresi menyeruak masuk. Memenuhi ruang udara rumah kecil bertingkat satu. Ada kalanya wajah yang hadir datang dengan senyuman penuh kasih sayang, wajah sang ayah ketika akhirnya dapat pulang tuk bertemu putranya tersayang. Ada kalanya wajah yang hadir datang dengan peluh dan kelelahan, wajah seorang ibu yang berjuang mengangkat 5 bungkusan plastik untuk bahan makanan sebulan. Ada kalanya wajah yang hadir datang dihiasi senyuman kemenangan, wajah seorang anak yang baru saja mendapati hasil ujiannya semua di atas sembilan. Namun, jika kata "datang" tercipta, "pergi" mungkin harus ikut serta. Dan ada saatnya ketika anak-anak Keluarga Lestari satu persatu berpamitan dengan alasan yang berupa. Mengejar impian, membina keluarga, menggapai pendidikan. Yang kata mereka "ini jalan yang lebih baik, bu".
Memang. Benda mati sepertinya mungkin selamanya tak akan bicara. Namun ribuan kisah telah ia saksikan dengan seksama.
Kini, kursi tua dipojokkan mungkin benar-benar akan menua bersama waktu yang menjelang. Karena suara lengkingan biola dari kamar sebelah mungkin sudah waktunya berhenti selamanya. Dan pintu masuk ruang tamu mungkin tak akan lagi bergeser barang sejengkal. Ketika hidup pun, sudah tak mampu berhembus.
-Triana
No comments:
Post a Comment