“Herman!”
Aku memanggil mu dalam sebuah
senja di Bulan Juni. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Orang-orang
berlalu lalang tampak sibuk menggeledah sudut-sudut jalanan. Sementara
nyamuk-nyamuk mulai berganti shift
jaga. Aku mengulangi panggilanku kembali, karena kamu nampaknya masih
mencari-cari pemilik suara yang
memanggilmu. Lalu kau tampak terkejut melihatku di kejauhan. Lantas memasang
raut wajah yang tak mampu ku tafsirkan. Namun aku percaya, kesamaan kita berdua
sekarang ini adalah: rindu.
“ Detra kan?” Tanya Herman. Aku membalas dengan anggukan kecil, karena sebagian besar tenaga dalam diriku sudah terkuras habis untuk merasa bahagia.
“ Detra kan?” Tanya Herman. Aku membalas dengan anggukan kecil, karena sebagian besar tenaga dalam diriku sudah terkuras habis untuk merasa bahagia.
“Oh hai! Gue gak nyangka bakal
ketemu lo di sini, mana lagi kucel gini lagi. Eh kok lo diem ajasih? Kirain muka
gak berubah kelakukan juga gak berubah, taunya sekarang jadi diem?” Herman
melontarkan tanya. Sedangkan aku hanya mampu tersipu. Skenario percakapan yang
kuciptakan selama 3 tahun ini hancur sudah. Kalimat-kalimat yang kurangkai dan
ku hapal tiap malam tak mampu ku ucapkan barang sepatah saja. Aku kini mati
gaya. Telak.
“Det? Senyam-senyum
aja. Ngeliat apasih? Bidadari jatoh? Aih gak mungkin lah pasti ngeliat pangeran
jatoh dari langit? Iyakan? Iyalah kan itu gue. WOY DETRA!”
“EH IYA
IYA NYANTAI PAK NYANTAI,” ujar Detra gelagapan setelah bangun dari lamunannya.
“Nah
gitu kek dijawab. Hampir gue kutuk lo jadi logo sereal bergizi. Eh iya det..
Nanti lagi deh kita ngobrol.. perasaan gue gak en..”
“Haduh Mas Mbak lah kok malah ngerumpi, ayo balik ke kerjaan masing-masing! Ini bentar lagi gelap loh ayo sono selesain dulu kerjaannya!” Ujar Pak RT dari kejauhan. Aku mengangguk tanda setuju. Herman pun kembali mengambil sapu dan pengki lantas berlalu dalam ramai kerja bakti bulanan, masih dalam senyum yang sama. Sama seperti ketika ia berbalik barusan. Sama seperti 3 tahun yang lalu saat ia harus pergi. Sama seperti dulu saat semua ini bermula. Herman. Alasanku mampu percaya.
“Haduh Mas Mbak lah kok malah ngerumpi, ayo balik ke kerjaan masing-masing! Ini bentar lagi gelap loh ayo sono selesain dulu kerjaannya!” Ujar Pak RT dari kejauhan. Aku mengangguk tanda setuju. Herman pun kembali mengambil sapu dan pengki lantas berlalu dalam ramai kerja bakti bulanan, masih dalam senyum yang sama. Sama seperti ketika ia berbalik barusan. Sama seperti 3 tahun yang lalu saat ia harus pergi. Sama seperti dulu saat semua ini bermula. Herman. Alasanku mampu percaya.
***
Bel tanda masuk berdering seakan
menyambut pagi. Aku masih bertahan di kursi baris ke-2 persis di pojok dekat
jendela. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Yang berbeda hanyalah aku tak
lagi sekelas dengan Reda, teman sebangku ku sejak kelas 1. Kalau saja bapaknya
Reda tidak memberikan ‘permintaan khusus’ pada pihak sekolah pasti kini bangku
di sampingku tidak akan kosong. Tapi akupun sadar, ketidakadaan Reda
disampingku kini juga karena aku telah membuat orang tuanya khawatir
habis-habisan. Karena sejak mengenalku hampir setiap sore Reda pulang terlambat
karena ku ajak kelayapan. Aku tahu Reda tidak keberatan menemani ku ‘sebentar’
sepulang sekolah, toh baginya ini suatu keuntungan agar ada orang yang mau
menghabiskan bekal makan siangnya yang harus habis.
Aku pun menarik napas pelan. Berharap ada anak lain yang tergerak hatinya atau
sekedar kasihan melihat seorang anak perempuan kelas 4 SD yang duduk sendirian,
bersandar pada tembok keras dan dingin, dan hanya mampu menatap lekat ke luar
jendela. Menatap pemandangan yang hanya terdiri dari tembok bata.
“Selamat pagi anak-anak,” sapa seorang perempuan di depan kelas.
“Selamat pagi anak-anak,” sapa seorang perempuan di depan kelas.
“Nama
saya Bu Lana, saya adalah wali kelas kalian di kelas 4 ini,” katanya
meyakinkan. Kami se-kelas hanya manggut-manggut.
“Nah,
sekarang kita akan saling berkenalan. Nanti kalian sebutkan nama lengkap dan
nama panggilan kalian satu persatu. Tapi sebelumnya, kamu yang dipojok
belakang, coba kamu pindah ke depan. Ya, di baris 2 masih ada yang kosong,”
ujar bu Lana sembari menunjuk Herman yang hobi duduk di pojok belakang.
“Tapi
bu, masa saya duduk sama anak perempuan?” Tanyanya. Anak-anak se-kelas pun
serentak tertawa mendengar pertanyaan itu.
“Heh,
sudah-sudah, siapa nama kamu?”
“Herman,
bu!”
“Nah,
Herman. Karena jumlah anak di kelas ini genap, dan kamu duduk sendirian jadi
mau gak mau ya kamu harus duduk disitu. Ibu yakin teman sebangku kamu gak gigit
kok,”
“Emang ibu udah jinakin bu?” Celetuk Eros. Eros adalah salah satu teman sekelasku yang punya kegemaran nyeletuk. Entahlah kegemaran macam apa itu.
“Emang ibu udah jinakin bu?” Celetuk Eros. Eros adalah salah satu teman sekelasku yang punya kegemaran nyeletuk. Entahlah kegemaran macam apa itu.
“Oh
tentu! Kamu gak tahu kan siapa yang punya peternakan?”
“Nggak
bu,” jawab teman sekelasku serentak.
“Ya ibu
sih juga gak tahu,” jawab Bu Lana asal. Serentak seluruh anak tertawa. Herman
pun akhirnya memindahkan tasnya ke sebelahku. Harapanku kala itu terjawab
sudah. Akhirnya aku punya teman sebangku, walaupun kami sama-sama terpaksa menerimanya.
Kini sebelahku bukan hanya tembok keras yang dingin, di sisi yang lain ada
sesosok manusia yang membawa kehangatan. Kehangatan yang membekas dan melebur
bersama waktu.
Bersambung kapan-kapan.
:) hana masih pemula. tolong kasih saran ya teman-teman! Terimakasih :) YEAY!
:) hana masih pemula. tolong kasih saran ya teman-teman! Terimakasih :) YEAY!
No comments:
Post a Comment