HELLAAA!
SELAMAT HARI IBU! Walaupun masih besok.
Selamat menikmati tulisan fiksi berikut kalau gitu~ wiwiwiwi btw sebelum baca gue ingetin ya.... bahasa cerita berikut emang agak berlebihan. duduuu~
06.00
“Selamat hari ibu.”
Presenter salah satu stasiun televisi itu tersenyum lebar. Entah tulus atau tidaknya kalimat itu menurutku tak penting. Kalimat itu sudah cukup untuk menjadi beban selama pagi ini. Harusnya memang tidak. Tapi entahlah, ada hal-hal yang tidak seharusnya terjadi malahan terjadi bukan?
Kalimat itu entah mengapa terus mengiang di kepala. Menjadi topik masalah yang tidak pada tempatnya, tidak pada waktunya, tidak seharusnya ada. Namun kenyataannya ia ada di sini, di dalam akal dan perasaan ini, di detik ini, dan yang terpenting sekaligus menyesakkan adalah: hal yang tak perlu dipermasalahkan ini ada dalam daftar masalahku.
Hal ini sederhana. Kalau cerita ini ditulis dengan sudut pandang “orang ke-3 pengamat” mungkin aku tidak perlu jujur tentang semuanya. Hanya saja sayangnya kisah ini ditulis dalam sudut pandang “orang pertama” dan itu berarti aku. Jujur, aku punya hak untuk tidak bercerita tentang ‘rahasia’ itu, tapi aku ingin berkisah tentangnya, dan aku harap kau dapat mencarikanku beberapa solusi sekaligus menjadi pemegang rahasia terbaik sepanjang masa. Ketakutan terbesar sekaligus rahasia baruku pagi ini adalah: bahwa nyatanya hari ini hari ibu, dan aku tak kuasa mengucapkannya padanya. Takut. Entahlah. Aku merasa tidak sepenuhnya pantas. Aku merasa tak pernah ada untuknya, tak pernah memberikan sesuatu yang berharga untuknya sementara ia tak henti-hentinya menyayangiku walau sekalipun dalam amarahnya, tak hentinya mendoakanku walau sekalipun dalam kesedihannya, tak hentinya memikirkan ku walau sekalipun dalam masa-masa sibuknya dengan pekerjaan rumah ditambah pekerjaannya sebagai aktivis sosial ditambah perkerjaan di tempat-tempat lain yang aku tak tahu.. maaf maksudku aku tak peduli di mana, karena rasanya beberapa minggu lalu ia menyebutkan nama itu. Ah entahlah aku lupa.
Bahkan aku melupakan ucapan-ucapannya, sementara ia mengingat setiap detil kata-kata yang aku ucapkan.
Aku merasa berdosa, dan aku tak tahu apakah perasaan ini datang pada waktu yang terlambat. Seharusnya aku sadar dari dulu bukan? Seharusnya aku mengatakan “maaf” dan “terimakasih” padanya sejak dulu bukan? Harusnya aku mendengarkan ucapannya, melakukan apa yang ia minta, dan berbakti padanya sejak dulu bukan? Teman, apakah aku sudah terlambat?
Aku kadang kesal padanya ketika teriakan itu terdengar bahkan pada waktu yang aku anggap tidak manusiawi. Membangunkanku dengan cara yang aku anggap ‘sadis’ walaupun itu memang terlalu berlebihan untuk menggambarkannya. Lantas berteriak kencang menyuruhku bergegas. Membuat emosiku ikutan memuncak di waktu sepagi itu. Padahal belasan tahun yang lalu aku yang melakukan ini padanya. Bahkan jauh lebih parah. Aku membangunkannya di waktu yang lebih tidak manusiawi lagi, di waktu yang tak bisa dibilang pagi, bahkan ayam jantan tetangga juga tidak akan mau disuap seberapapun untuk berkokok sepagi itu. Dan caraku juga lebih ‘sadis’, aku membangunkannya dengan merengek, memang pelan pada awalnya namun semakin lama semakin keras, dan ia tidak bisa pura-pura tidak mendengar, tidak bisa bilang “5 menit lagi yaaa, ibu masih ngantuk.” Ia bahkan tahu maksud rengekan ku, dan setelah memenuhi permintaanku ia lalu tersenyum, mencium keningku, berdoa, lantas kembali ke tempat tidur dan terjaga sepanjang sisa waktu tidurnya, takut kalau aku terbangun lagi, merengek lagi.
Di umur belasan tahun ini bahkan aku sadar aku telah melakukan sederet kesalahan besar kepadanya. Berbohong, membentak, mengucapkan kata-kata tidak pantas, menuduh, bahkan pernah membenci. Aku sendiri kaget mengingatnya, aku benar-benar melakukan kesalahan besar :_( padahal dulu ia memintaku untuk senantiasa menjadi orang yang jujur. Aku mengangguk. Sampai suatu saat ia bertanya suatu hal padaku. Lalu bilang “kamu bohong ya sama ibu?” Bahkan dalah kalimat itu ia berusaha untuk tidak bernada tinggi. Aku menggeleng, dan ini menjadi kebohongan selanjutnya karena sebenarnya aku telah berbohong. Lalu ibu hanya menarik napas membiarkanku kembali, dan tidak bertanya-tanya lagi tentang kebohonganku. Aku merasa bersalah. Sungguh. Aku harap ia tidak berpikir bahwa ini semua salahnya sehingga aku tumbuh menjadi anak yang berbohong pada orang tuanya. Dan kenyataannya ia berpikir demikian. Padahal ini semua sepenuhnya salahku.
Dan waktu itu ketika ia benar-benar marah aku membentaknya, membela diri bahwa ini semua bukan salahku. Tersenyum menang, menganggap semua yang kulakukan ini hebat. Padahal nyatanya aku menyumbangkan dosa besar selanjutnya karena telah membentaknya, menjawab amarahnya, membuatnya menangis. Sesungguhnya aku tahu dalam amarahnya ia menyimpan kasih sayang besar untukku, akupun tahu setiap kali ia marah ia selalu dihantu rasa bersalah dalam waktu yang lama, dan sungguh ia selalu berdoa untuk kebaikanku. Aku merasa bersalah. Aku merasa berdosa. Aku telah menyakiti hati orang yang tulus menyayangiku. Bahkan cintanya lebih besar dari lagu cinta manapun, dari cerita siapapun.
Lantas setelah membentak aku bukannya minta maaf, lalu berbaik hati menjadi anak yang manis. Aku malahan lupa akan cintanya. Aku malahan memilih asyik sendiri dengan hp-ku membalas chat temanku dengan curhatan panjang akan masalahku dengan ibu ditambah sederet kata-kata kasar yang tidak pantas, tidak sopan, tidak pada tempatnya. Lalu meng-update twitter, mengatakan hal serupa. Merasa keren. Lalu mengunci kamar, hingga esok pagi. Berangkat sekolah tanpa pamit. Mendeklarasikan perang dingin. Padahal waktu itu aku tidak tahu, sesungguhnya ia juga mengunci diri di dalam kamar, memeluk bantal, menangis, menyalahkan diri sendiri, berusaha untuk berdamai. Dan pada pagi yang sama ia menyapa, mencoba meminta maaf. Sayangnya remaja serba labil sepertiku tidak sadar. Bahkan baru menyesal setelah waktu yang panjang berlalu.
Lantas aku harus apa kawan? Aku harus bagaimana? Bagaimana caranya untuk membayar semua cintanya, kasih sayangnya, ketulusannya? Ah kawan, apakah aku terlambat? Bolehkah aku ucapkan “selamat hari ibu” untuknya? Pantaskah aku? Dan akankah ia menerima ucapan ini setelah sederet kesalahan itu? :_( entahlah, akan kucoba kawan.
22.00
Aku akhirnya mengucapkannya kawan. Meski dengan sekuat tenaga karena perasaan tidak pantas itu. Tapi tahukah engkau? Ia bahkan tidak menyalahkanku, tidak menuntutku, tidak mengatakan bahwa aku tidak pantas mengucapkan kalimat itu. Tahukan engaku kawan? Ketika aku mengucapkannya ia tersenyum, lantas menangis. Ya, aku sudah cukup besar untuk membedakan mana tangis bahagia dan tangis kesedihan. Aku tahu itu tangis bahagia, dan ia tersenyum saat itu, mengecup keningku, berdoa. Lalu air mata itu jatuh ke kulitku. Menyerap. Memberikan bekas yang dalam. Aku tidak kuasa. Aku menunduk pelan. Berusaha bersuara, walaupun yang keluar hanya sebuah bisikan pelan. Berkata “maafkan aku ibu, dan terimakasih atas segalanya.”
***
SELAMAT HARI IBUUUU! Hana sayang ibu :*
EHEM. Cerita tadi karangan belaka~ walaupun sejujurnya gue juga punya banyak salah. banyak banget salah ke nyokap. Dan 1 atau 2 tahun yang lalu gue juga tidak mampu mengucapkan “selamat hari ibu” jujur… gue takut. Tapi marilah kita berubah menjadi manusia yang lebih baik :_)
Bicara soal ibu, gue sempat tersentuh melihat post berikut ini
-->klik! dan ini
klik!<--hem :)
jujur, gue sangat menghargai orang-orang yang menghormati orang tuanya. Kadang kalau di depan orang-orang seperti itu gue suka minder. Sangat minder.
Sekali lagi selamat hari ibu
Semoga kita bisa bersikap lebih baik, lebih hormat, lebih menghargai ibu kita dihari-hari selanjutnya
Salam damai,
Hanatkl
BONUS LAWAKAN GAGAL:Gerakan dasar*lagi bercanda*
A: coba kakak contohin 12 gerakan dasar baris-berbaris
H: orang cuman ada 1
A: HA?
H: Cuman ada 1, gaya batu. Kan kalau gaya batu nanti tenggelem ke dasar… jadi deh gerakan dasar
A: -_-
Gaya bebas*lagi foto ekskul*
M: oke sekarang gaya bebas
H: gini dong *nyontohin gaya bebas… gaya renang yang namanya gaya bebas*
M: itumah kalau mau berenang-_-
Mainan yang paling…*lagi main-main*
E: Ah gue mau nontonin orang main olahraga paling berat dulu ah
H: HAH Apaan?
E: itu ngangkat-ngangkat benteng, ngangkat-ngangkat kuda, ngangkat-ngangkat mentri
H: OH catur-_-
R: Iya hehe
H: berarti kalau mainan paling capek monopoli dong… dari Indonesia ke Amerika ke Australia….
R: HAHAHAHAHAHA *tidak berhenti ngakak~*
H: kalau gitu ular tangga mainan yang paling nyeremin… banyak ulernya
btw mau tau kisah ngenes gue? mau aja udah biar gue seneng
*Gue kepleset deket pohon*
H: Aduuuh...
KA: aduh kasian jatoh... semoga pohonnya gak sakit
H: iya iya... :'''
HAHAHAHAHAH dadah.