Hangat Suara di Kepala

Bismillahirrahmanirrahim,

Memiliki sebuah wadah yang menyimpan tulisan mu untuk belasan tahun lamanya sangat membuat ku sadar bahwa hidup sejatinya cuman berpindah dari satu ujian ke ujian lain azaaa~

Dan di titik ini -- atau lebih tepatnya di setiap titik -- kita akan ngerasa hidup kayak lagi berat-beratnya. 

Buatku pribadi, beberapa bulan ini adalah masa-masa perjuangan yang unik. 

Unik karena aku ketemu banyak sekali pelajaran baru tentang diriku. 

Unik karena di masa ini aku benar-benar diobrak-abrik perasaannya, tapi badai ini juga yang kemudian membuat ku ingin ebih baik dan baik lagi, agar bisa lebih banyak memberi cinta dan perhatian pada diri ku dan orang lain.

Unik karena, di usia segini dan dengan segala peran yang ku pikul, aku rasanya ingin memeluk rapuhku dan mengajaknya sembuh, karena dia tanggung jawabku. Hanya aku yang memegang kendali atasnya untuk bisa pulih secara menyeluruh. Tentu dengan izin Allah.

Kalau aku step back dan lihat masalah-masalahku, rasanya sebenarnya ia hanya hal remeh-temeh saja. Aku pun suka gemes sama diriku sendiri yang perlu banyak jeda untuk bisa memprosesnya. Tapii dari proses ini, aku menemukan banyaaak sekali rupa kehangatan yang aku coba tumbuhkan di dalam self-dialogue ku. Dan barangkali, ini juga bisa kamu coba! 

Pertama,

Kalau gelombang emosi negatif datang, aku akan membayangkan ombak. Bagaimana besar dan gagah gelombang perlahan lebur ketika mendekati pantai. Kemudian reda dan damainya kembali sirna ketika angin menggelungnya untuk kembali menjadi ombak.

Ia tumbuh, tapi ia juga reda.

Ia reda, tapi ia juga bisa kembali.

Ia bisa berhenti, ketika angin sudah tidak berpihak padanya.

Gelombang emosi juga bisa datang dan pergi. Dan sebagaimana angin, ia tak kenal permisi. Maka setiap kali ia datang, aku memilih untuk menatapnya, merasakan hadirnya, sampai di suatu titik ia lebur.

Setiap kali gelombang emosi datang, aku membayangkan ombak. Dengan suatu keyakinan bahwa ia akan pergi, pada waktunya. Dan jika ia kembali lagi, itu alamiah.

Kedua,

Setiap kali aku hancur dan merasa tidak berfungsi (duh, rasanya sungguh tidak enak), aku akan mengajak diriku melakukan hal-hal sederhana, dan merayakan keberhasilanku melakukan hal sederhana tersebut. Hal paling sederhana yang seringkali sulit ku lakukan adalah bangun dari tempat tidur dan memulai hari.

Kadang, bagian diriku yang sangat dalam mengira bahwa bangun dari tempat tidur adalah ancaman. Maka ia memilih memaksa tubuhku meringkuk untuk 10 menit lagi. Tapi aku tahu, ini bukan soal kantuk. Ini aku, yang tidak tahu bagaimana cara menghadapi ketakutan ku. Dan ketidaktahuan adalah akar dari banyak sekali rapuh.

Maka, aku akan berusaha melakukan hal sederhana saja... sembari mencari clarity, menguraikan ketidaktahuanku dan menjalani hari. 

Pada dasarnya, yang bisa kita lakukan hanyalah terus melangkah maju, kan? 

Barangkali majunya hanya 1 langkah, kemudian jatuh, menangis, dan putus asa -- untuk kemudian berdiri lagi, melangkah lagi, dan secara sadar tahu, bahwa mungkin 1 langkah lagi aku bisa jatuh lagi. At least aku jatuh di tempat yang lebih maju.

Ketiga,

Yang unik dari proses pulih kali ini, adalah bahwa aku perlahan mulai lupa. Aku lupa rasanya ketika semua baik-baik saja. Aku lupa bagaimana rasa nyaman yang semula aku damba. Padahal rasa nyaman itu seringkali menjadi dasar akan kesedihanku -- aku pengen dia kembali.

Dan ternyata, kali ini aku sedih sekali ketika sadar bahwa aku mulai melupakan memori itu. Ada separuh hati yang masih ingin menyimpan rasa hangatnya. Tapi juga ada separuh hati (atau separuh otak?) yang secara rasional tahu, bahwa melupakannya merupakan jalan yang lebih sehat untuk ku. Setidaknya, aku bisa tidak terlalu sedih karena berharap memori tersebut terulang kembali -- soalnya aku udah lupa sama memorinya.

Tapi, hal ini justru yang sedang aku afirmasikan pada diriku sendiri. Bahwa lupa juga merupakan anugrah dari Allah. Barangkali, ini jalan yang Allah kasih agar aku segera pulih. Agar aku menumbuhkan harapan-harapan lain.

Unik ya, ternyata lupa bisa membuatmu sedih, takut, dan merindu, sekaligus bersyukur karena ia adalah mekanisme yang melindungi dirimu.

Keempat,

Menurutku, orang yang secara sadar memilih untuk pulih itu keren. Jadi menurutku, aku keren? Iya lagi, maaf banget... haha.

Tapi, aku kerennya parsial aja, karena aku seringkali frustasi ketika udah ngerasa memproses semuanya dengan semangat dan keinginan menggebu-gebu untuk segera bangkit, tapi gak lama kemudian si badai emosi balik lagi. Mengobrak-abrik bangunan yang aku bangun dengan tertatih-tatih.

Sungguh rasanya gak enak banget. Kayak kamu lagi sakit, terus disalahin karena sakit.

Tapi, afirmasi ketika lagi kayak gini adalah afirmasi favoritku, yaitu: Gapapa Han, ini cuman tanda kamu lagi belajar jadi manusia. Sebagaimana rupa-rupa belajar lainnya, bukannya ia perlu latihan? Dan bukannya di dalam latihan itu, kamu mungkin sekali salah? Dan bukannya setelah latihan yang panjang dan melelahkan, kamu tahu kamu bisa mencapai mastery?

"Aku lagi belajar jadi manusia."

I proudly repeating this line in my head.

--

Aku harap, hari mu ringan.

-Triana

Comments

Popular posts from this blog

Behind The Bakes

Tiba-tiba Tim Tebar

Perspektif Bunga Matahari