Tuesday, December 20, 2022

Belajar dari Rasa Sakit

 Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu'alaikum teman-teman.


Ba'da maghrib tadi, telponan sama Salma. Sambil nunggu Salma makan, aku cerita soal sakit gigi ku dua hari lalu. Malam itu, impaksi graham bungsu ku rasanya sakit sekali. Mungkin kesakitan paling dasyat yang aku rasakan. Hari itu, aku sedih bukan hanya karena sakit atau karena kurang tidur, tetapi juga karena aku belum sepenuhnya bisa mengucapkan dzikir dalam sakit ku. Padahal ketika dalam kondisi sehat, bukan kah kita berencana untuk dapat berdzikir dalam sakit kita? :'

Sungguh sakit gigi kemarin mengajarkan aku banyak hal. Salah satunya memang jadi belajar bahwa gigi ku perlu tindakan. Tetapi hal yang menurutku jauh lebih penting, adalah bahwa masih banyak perihal iman, keikhlasan, dan penyerahan diri yang harus aku pelajari. Sakit kemarin bagi ku adalah cara Allah untuk ngingetin aku bahwa masih banyak yang mesti aku benahi.

InsyaAllah cerita ini bukan untuk pamer kekurangan ya guys, tetapi untuk jadi reminder kita sama-sama hehe.

Selesai cerita ke Salma kami diskusi beberapa hal. Salah satunya bahwa:
"Memang sebenarnya sakit itu harus disyukuri ya" ujar Salma.

Betul juga. Sakit adalah kondisi yang tidak menyenangkan, namun mendekatkan kita pada kepasrahan. Kondisi yang membuat kita tidak nyaman, sekaligus mengingatkan kita bahwa memang kita makhluk Allah yang lemah. 

Tapi sakit sesungguhnya juga merupakan rahmat dari Allah. Dalam kondisi itu, Allah masih ngasih kita kesempatan untuk hidup. Ngasih kita ruang untuk ikhtiar meminta kesehatan dari-Nya dan mencari cara untuk sehat lewat apa yang Allah ciptakan (obat, pengobatan, pola hidup sehat, dsb.). Dan Allah pun menjadikan rasa sakit ini sarana untuk menggugurkan dosa-dosa. MasyaAllah.

Semoga Allah kasih kita kesehatan dan usia yang berkah ya manteman. Pun apabila di tengah2nya terselip ujian, semoga kita jadi hamba yang Allah mudahkan untuk memetik hikmah.

Semangat :)

Thursday, November 24, 2022

Neat Sequence

 Bismillahirrahmanirrahim,

I just want myself to remind myself, that our life is arranged neatly. It might be look overwhelming or even frustating, but as a former curriculum designer, you knew there is a learning journey for one's to be upskilled. Just keep going, enjoy!

Thursday, November 3, 2022

3/11/2022

Bismillahirrahmanirrahim

Di sesi Qur'an berapa jam lalu, tertegun ketika baca ayat yang menceritakan kisah Nabi Musa dan ibunya.

Di masa yang mencekam, di mana Firaun memerintahkan bala tentaranya untuk membunuh semua bayi laki-laki, Ibunda Musa terpaksa 'melepas' Musa. Allah mengilhamkan beliau untuk menghanyutkan Musa di sungai Nil. 

Pas kepikiran tentang cerita tersebut, aku ngebayangin rasanya jadi Ibunda Nabi Musa. Betapa sedih harus melepaskan buah hatinya. Aku ngebayangin ketika lagi main sama anak temen ku aja, terkadang tumbuh kasih sayang yang ngebuat kita berat untuk berpisah.. padahal ini teh bukan anak saya. Maka pas merenungi kondisi Ibunda Nabi Musa, wah di benak ku "pasti berat banget ya". 

Tapi yang lebih 'menampar'-ku adalah bahwa beliau, Ibunda Nabi Musa, akhirnya melakukan apa yang Allah ilhamkan. Ia hanyutkan Nabi Musa AS. di sungai Nil. Padahal beliau enggak tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Kalau kita memperhitungkan risiko dan berasumsi dengan logika manusia, maka sebetulnya ada banyak sekali kemungkinan yang terjadi atas bayi tersebut, dan sebagian di antaranya mungkin bukan kabar baik. Tetapi, Ibunda Nabi Musa taat dengan apa yang diperintahkan kepadanya. 

Nabi Musa kemudian ditemukan dan diasuh oleh keluarga kerajaan Firaun. Dan MasyaAllah, Allah pertemukan lagi Ibunda Nabi Musa dan Nabi Musa, ketika keluarga kerajaan membutuhkan seseorang untuk menyusui Nabi Musa. Ibunda Nabi Musa lah yang dapat mengemban tugas tersebut :') Selanjutnya dengan jalan yang Allah takdirkan, Nabi Musa akhirnya tumbuh menjadi seorang Rasul, dengan segala kisahnya yang Allah sampaikan di Al-Qur'an.

Hal yang aku highlight adalah, bahwa ketika Ibunda Nabi Musa menjalankan perintah Allah untuk menghanyutkan Nabi Musa, she didn't know what will happened next, tapi beliau patuh sama apa yang Allah perintahkan... even perintah tersebut sounds very hard. 

Betapa indahnya penyerahan diri yang beliau lakukan, gitu :')

***

Pas mau menulis kisah di atas, sempet mikir kayaknya aku gak confidence nulis kisah tersebut, karena tadinya malas buka buku sirah hehe (akhirnya dibuka juga). Sehingga aku jadi kepikiran kisah-kisah lain dengan tema serupa, yaitu penyerahan diri kepada Allah.

Lalu, Biidznillah, aku keinget kisah Nabi Yunus yang sempat terjebak dalam perut paus. Kisah Nabi Ayub yang Allah berikan penyakit menahun higga kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih anaknya. Kisah Siti Hajar yang ditinggal di padang pasir bersama anaknya, dan beliau ikhlas ditinggalkan Nabi Ibrahim ketika tahu bahwa apa yang Nabi Ibrahim lakukan adalah atas perintah Allah.

Ketika semua itu terjadi, they didn't know what will happened next. Mereka gatau ending apa yang Allah telah siapkan untuk mereka. 

Kita yang mendengar mungkin udah tau, karena dari kecil sudah diceritakan berulang-ulang. Tapi ketika para Rasul sedang berada di momen itu, mereka juga tidak tahu apa kelanjutan dari ujian yang Allah kasih. Tapi mereka memutuskan untuk taat sama Allah, mengikuti perintahnya, dan berserah diri.

***

Takeaway dari kisah tersebut kira-kira begini:

Betapa sudah banyak Allah kasih contoh kisah dengan pola-pola yang serupa, yaitu menghadapi ujian dengan bersabar dan berserah diri kepada Allah.

Dan menurut pandangan ku, dahsyatnya kesabaran dan keberserah-dirian para Rasul bisa sehebat itu karena mereka yakin. Mereka yakin kepada Allah. Kepada pertolongannya Allah. Kepada kebaikan dari perintah Allah. Kepada karunia dan rizki yang Allah berikan. Dan aspek-aspek lain dari iman kepada Allah.

Lagi-lagi semua kembali kepada iman.

Kita tahu dan yakin bahwa Allah tahu jalan terbaik, timing terbaik, takdir terbaik untuk kita. Dan kita pun tahu ketika kita memilih untuk beriman, konsekuensinya adalah kita turut diuji. Namun, berbahagialan dan semoga kita mampu untuk tidak bersedih hati, karena we already know the formula: iman, sabar, berserah diri.

Sunday, April 17, 2022

#MemaknaiUlang

 "Awakening to faith is not a one time event, but a continuously unfolding reality. The journey of faith is not a race, but a marathon of love that each person walks at different pace."- A. Helwa

Quotes tersebut merupakan awal dari buku A. Helwa "Secrets of devine love journal", meskipun saya belum selesai baca 1 bab dan mungkin saja akan agree to disagree sama isi bukunya, but for this quote.. aku agree banget.

Sebagai anak yang lahir dari keluarga islam, dan belajar agama dari orang tua dan sekolah karena memang begitu templatenya, saya dulu ga ngerasa hidup dengan spirit islam. Saya bahkan cenderung skeptis dengan konsep perasaan dekat dengan Allah. Waktu kecil, saya berpkir bahwa konsep pahala-dosa adalah sekadar gamifikasi yang membuat hidup punya tujuan. Ya, supaya skor kita tinggi di mata Allah. Lalu waktu kecil saya berpikir, barang siapa yang berhasil punya skor tinggi lah yang akan masuk surga. Cukup jarang saya amaze dengan karunia Allah, apalagi merasa mendapatkan cinta-Nya.

Momen yang akhirnya membuat saya belajar berserah adalah ketika saya patah hati di kelas 4. Meskipun sekarang saya sendiri berpikir bahwa urusan patah hati anak kelas empat SD nampak ringan saja, tapi saya begitu menghargai bahwa hari itu Allah gerakan hati saya untuk bercerita pada-Nya, menangis pada-Nya, berserah pada-Nya. Paling tidak, Hana di kelas empat SD kini sadar akan keberadaan dan sifat-sifat Allah.

Siapa sangka momen itu menjadi pintu awal untuk akhirnya Allah mampukan saya membuka pintu-pintu iman lainnya. Mulai dari belajar pakai kerudung, terpaksa jadi anak rohis ketika SMP, mulai belajar islam dengan sukarela ketika SMA, kemudian mulai merasakan beragam ujian hidup di kuliah yang akhirnya saya identifikasi sebagai cara Allah membuka pintu iman saya di level selanjutnya.

Dalam proses saya menemukan iman dan terus-menerus memakanainya ulang, ada banyak orang yang datang, lewat, dan bahkan pergi. Ada orang-orang yang saya "iri" padanya, karena kedalaman iman dan kebaikan akhlak. Sampai-sampai saya pikir "wah keren banget sih mba ini, aku jauuuuh banget dari diaa". Ada orang-orang yang saya kagumi karena meskipun secara penampilan ia terlihat biasa saja, tidak menunjukkan aspek religiusnya, tapi hati dan akhlaknya cantik pisan. Ada yang merasa dirinya jauh dari Tuhan, tapi dari caranya bercerita, aku yakin betul masih ada ruang di hatinya yang meyakini ada-Nya. 

Dulu, dan semoga sekarang saya tidak begitu, saya masih suka merasa bahwa akhi ukhti yang bergerak dalam dakwah adalah yang terbaik di mata Allah. Seakan hidayah cuman hadir untuk mereka. Yang saya lupa adalah, bahwa perjalanan iman adalah sesuatu yang bersifat personal. Ada yang cepat dan ada yang lambat. Ada yang progress terus, ada yang tidak. Ada yang Allah berikan hidayah lewat hal-hal yang secara nyata berhubungan dengan aspek religius (contoh: kajian, lembaga dakwah, aktivitas amal), tetapi gak bisa dipungkiri hidayah bisa juga hadir di dalam aktivitas-aktivitas lain (contoh: pekerjaan, inspired by seorang tokoh, musibah, keluarga, dsb.). Dan bukan hak kita untuk mendikte kapan hidayah itu masuk ke hati seseorang dan menempa imannya.

Untuk saya pribadi, quotes di atas menjadi pelajaran untuk senantiasa husnudzon sama proses seseorang mencapai imannya. Jangan menyerah untuk percaya bahwa setiap orang bisa mencapai his/her best version dan best iman condition. Kalau Allah izinin mah, apa sih yang engga? Dan juga, gak ada untungnya nge-judge kadar iman seseorang. Orang yang hari ini nampak bobrok, bisa saja Allah akselerasikan imannya berkali lipat. Pun seseorang yang hari ini bergerak dalam dakwah, bisa saja berakhir dengan iman yang pudar. Semoga Allah terus mengaruniai iman di hati kita dan mempercantiknya dari waktu ke waktu, hingga kita mati dalam kondisi iman yang terbaik.

Di satu sisi, sahabatku, yang kali aja ada yang baca.

Jangan berputus asa sama rahmatnya Allah ya :) Merasa jatuh, imannya turun, atau tertatih-tatih dalam ibadah, adalah bagian dari ujian. Dan yang namanya ujian ya susah, bro. Ujian iman gak melulu soal hubungan kita sama Allah lewat ibadah. Saya pribadi ngerasa sulitnya skripsi, insecurities, kerjaan yang menumpuk, adalah juga cara Allah menguji iman saya. Apakah saya percaya bahwa ikhtiar saya PASTI akan Allah balas dengan takdir terbaik-Nya? 

Tentu selama masih jadi manusia saya juga masih menempun perjalanan iman. Berharap Allah senantiasa membimbing saya untuk bisa menyelesaikan semua ujian dengan ikhtiar terbaik. Berharap Allah izinkan saya untuk tetap menemukan iman di ujung jalan ini.

***

Judul #MemaknaiUlang adalah tema yang saya sematkan pada Ramadhan tahun ini. 2 tahun pandemi, saya merasa semakin jauh dari kegiatan belajar islam dan aktivitas dakwah. Ibadah pun rasanya begitu-begitu saja. Saya bahkan menemukan permasalahan baru, insecurities, yang tumbuh karena kini saya menjajaki umur dua lima.

Di Ramadhan ini, Alhamdulillah, Allah berbaik hati memberikan saya kesempatan untuk kembali merasakan nikmatnya aktivitas dakwah. Merasakan sejuknya agenda ibadah bersama keluarga, merasakan keberkahan waktu di bulan Ramadhan. Kembali bersemangat untuk punya target baru sebagai seorang muslimah. Dan yang terpenting adalah: semakin yakin bahwa Allah PASTI akan ngasih yang terbaik, dan bahwa takdir kita tak akan pernah tertukar.

Semoga kita bisa mengakhiri Ramadhan dengan penuh syukur. Dan menjalankan 11 bulan sisanya dengan mengaktualisasikan apa yang kita sudah dapat di Ramadhan tahun ini.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. 

-Triana

Tuesday, March 8, 2022

Keterampilan dari belajar

Bismillahirrahmanirrahim,

Salam sejahtera readers 🙂

Saya sudah lama sekali tidak menulis blog yang ditujukan untuk berbagi, seringnya hanya sekadar menjadi ruang refleksi untuk saya baca lagi dan lagi. Tapi salah satu online course yang kemarin saya ikuti memantik saya untuk kembali menulis. Sebuah topik course yang terlihat sangat dasar, tapi saking dasarnya bisa jadi ia begitu fudamental. Nama couse-nya: developing a learning mindset. Course tersebut saya akses dari LinkedIn learning, kebetulan saya sedang dapat free-trial 😀

Banyak hal menarik dari course tersebut, salah satunya adalah bahwa ketika kita belajar, kita akan mendapatkan 3 skill. Apa saja 3 skill tersebut?

  1. Knowledge
  2. Transferable skill
  3. Traits

Mari kita bahas satu persatu


KNOWLEDGE

Knowledge adalah pengetahuan. Sebagaimana artinya secara harfiah, pengetahuan yang kita dapatkan saat belajar, itulah skill yang kita dapatkan. Hal ini menyebabkan semakin beragam atau semakin dalam ilmu yang kita timba, semakin banyak pula pengetahuan yang kita punya.

Misalnya, saya instructional designer untuk perguruan tinggi, saya setiap hari berkutat untuk membuat media pembelajaran berbagai bidang ilmu. Manajemen, data science, IT, SI, akutansi, dan hukum. Tentunya sembari saya bekerja, saya mendapatkan beragam informasi dari materi-materi tersebut. Suatu benefit bagi saya yang kuliah biologi, karena dari sini saya lebih paham bagaimana dunia sosial dan teknologi bekerja. Meskipun demikian, pengetahuan yang saya dapat saat bekerja baru potongan-potongan saja, karena memang cara saya mendapatkannya adalah melalui cara seorang generalis: banyak hal tetapi tidak mendalam.

Anda pun pasti begitu. Dunia kerja atau sekolah yang Anda hadapi bisa jadi cukup umum, sebagaimana yang saya hadapi, atau bisa jadi Anda bekerja di dunia spesialis. Misalnya:

Seorang akuntan mungkin sangat menguasai pengetahuan-pengetahuan di bidang akuntansi.

Seorang sopir bus mungkin hafal luar dalam mengenai trek yang ia lewati atau tahu banyak hal tentang playlist lagu yang bikin tidak ngantuk selama perjalanan antarkota.

Seorang ahli fikih tentunya sudah mengetahui banyak kaidah fikih dari proses pembelajaran yang ia lakukan.


2. TRANSFERABLE SKILL

Poin kedua ini adalah yang paling menarik untuk saya.

Transferable skill adalah keterampilan yang kita pelajari dari suatu proses belajar (misalnya saat di sekolah), tetapi bisa digunakan di dalam fragmen hidup lain (misalnya saat bekerja). Misalnya, menurut salah satu artiker di forbes, tranferable skill yang dapat bermanfaat untuk mengubah karier adalah teknikal, komunikasi, berpikir kritis, multitasking, kerja tim, kreativitas, dan kepemimpinan.

Sebagai contoh, ketika sekolah dulu saya banyak melakukan praktikum. Praktikum di kampus saya umumnya dilakukan dalam tim, sehingga kami harus melakukan pembagian tugas. Meskipun praktikum tersebut adalah praktikum fisiologi tumbuhan, genetika, atau ekologi, ilmu yang saya dapatkan dari situ bukan hanya pengetahuan soal bagaimana benda-benda alami tersebut bekerja. Saya juga otomatis belajar tentang kerja tim, bagaimana memimpin, dan bagaimana dipimpin.

Keterampiln bekerja tim, kepemimpinan, dan menerima instruksi ini adalah sesuatu yang dapat saya gunakan lagi di fragmen kehidupan lain. Misalnya di dalam organisasi kemahasiswaan, dalam dunia profesi, atau hopefully sampai nanti saat saya berumah tangga, bermasyarakat, dan berkarier kedepannya.

Hal yang menarik dari bagian transferable skill ini adalah karena saya sering kali berpikir kenapa saya bisa-bisanya ada di profesi instructional designer (ID). Mengingat, latar belakang pendidikan saya adalah sains murni. Bukannya merasa lulusan sains murni tidak bisa berkiprah di ranah lain ya, saya justru sering kali merasa bersyukur pernah menimba ilmu sains murni bertahun-tahun lamanya, dan kemudian baru tercebur di dunia ID. Mengapa demikian? karena saya rasa, 4,5 tahun digembleng menjadi saintis membuat saya terbiasa mempertanyakan banyak hal. Di dunia ID, keterampilan ini saya rasa cukup penting. Paling tidak untuk memvalidasi apakah materi atau kuis yang di-submit oleh SME (subject matter expert, ahli dalam bidang ilmu course yang saya kembangkan) sudah tepat.

Selain itu, saya merasa salah satu hal yang membuat saya menyenangi pekerjaan saya sebagai ID adalah karena waktu SMP saya ‘dipaksa’ menulis blog! Ya, ‘dipaksa’ oleh tugas Bahasa Indonesia untuk menulis sebanyak-banyaknya di blog. Yang baru saya sadari kemudian, setelah bertahun lamanya lulus SMP adalah: menulis blog membuat saya terbiasa men-design alur cerita, melakukan riset mengenai konten yang ingin saya tulis, memikirkan apakah pembaca akan nyaman membaca tulisan tersebut, dan mungkin masih banyak lagi. Saya juga jadi tertantang untuk belajar membuat ilustrasi dan fotografi, sekadar agar blog saya semakin cakeup.

Setelah ikut course ini, saya menduga bahwa keterampilan design, riset konten, dan memikirkan user experience dari kebiasaan saya menulis blog, bertahun-tahun silam, adalah transfarable skill yang saya gunakan kembali di dalam karier saya.


3. TRAITS

Menurut Garry Bolles, instruktur di dalam course tersebut, traits adalah keterampilan yang dapat digunakan untuk manajemen diri. Misalnya, manajemen emosi, manajemen waktu, fokus, mindfulness, dsb. Misalnya, kembali saya ambil contoh praktikum semasa kuliah. Praktikum tersebut akan memberikan saya data yang harus diolah dan dilaporkan dalam laporan praktikum. Laporan praktikum yang harus saya kerjakan dalam satu pekan bisa berjumlah 2-3, bahkan bisa 5 kalau lagi sibuk-sibuknya. Maka saya pun mendapatkan keterampilan menajemen waktu dari kegiatan-kegiatan praktikum tersebut.

Kemampuan manajemen waktu tentunya bisa saya aplikasikan kembali di dalam fragmen hidup lain, apalagi ketika saya harus melakoni beberapa peran dalam satu waktu.

Ternyata, dalam satu kali kita belajar, baik sekadar iseng menamatkan satu buah course atau bahkan dari menjalani suatu profesi bertahun-tahun, kita bisa mendapatkan keterampilan berupa knowledge dan mengasah keterampilan lain, yaitu tranfarable skill dan traits.

Sekarang saya mulai paham alasan dibalik humble-nya dosen-dosen dan guru-guru cerdas yang saya temui. Dan bahwa saya harus lebih jeli untuk melihat ilmu lebih dari sekadar barisan-barisan informasi belaka.