Assalamu'alaikum.
Satu tahun ini (2016) adalah satu tahun kehidupan kampus yang renyah.
Satu tahun yang bandel karena seringnya tidak di rumah (termasuk kategori bandel untuk anak perempuan satu-satunya (terakhir pula) yang tinggal di kawasan Jakarta Selatan tapi ngekos di depok, yang harusnya beresin rumah tapi lebih sibuk beresin proker)
Dalam hati kadang saya masih diam-diam tanyakan perihal: "gue kayak gini buat apa sih?"
Di satu dua titik, saya menemukan jawabnya. Di titik yang lain, kadang saya tahu ini hanya untuk senang-senang. Hanya untuk memuaskan dahaga saya akan kehidupan anak muda. Hanya untuk bermain-main di taman bermain ala mahasiswa.
Beberapa saat lalu saya menonton film Gie. Film yang sudah lama saya ingin tonton dan baru kesampaian beberapa hari yang lalu akibat termakan promo aplikasi nonton legal gratis dari Indosat (lalu ketika saya cek quota sehabis nonton, ternyata berkurang banyak (mungkin saya yang gatau settingnya gimana sih.)). Tapi saya tidak begitu menyesal. Setidaknya film itu menyadarkan kembali kepada saya, bahwa lembaga kemahasiswaan sejatinya hadir untuk menjadi tempat ekspresi mahasiswa, untuk menyuarakan aspirasi mahasiswa, untuk menyibukkan mahasiswa dengan kegiatan-kegiatan positif sehingga pikir dan hatinya tetap dalam kebenaran.
Jadi inget tadi ada kalimat quotable dalam obrolan sore
"Fitrah manusia itu selalu ingin sibuk. pilihannya mau menyibukan diri ke arah kebaikan atau keburukan" - Ka Hanan
Ya. Dan begitu.
Beberapa orang bilang bahwa masa studi di kampus adalah masa kita untuk mencoba dan salah. trial and error. Baik dalam belajar, berorganisasi, berbisnis, berprestasi, ataupun lainnya. Karena kelak di pascakampus, ketika uang menjadi komoditas yang lebih 'serius', salah tidak lagi lumrah.
Salah satu manifestasi dari tempat trial and error tersebut adalah taman bermain berupa lembaga kemahasiswaan.
(Mengapa taman bermain?)
Taman bermain identik dengan tempat yang menyenangkan. Di sana banyak kawan, di sana ada lawan pula (yang suka rebut permen yuppi kamu). Di sana ada yang memanjat lalu terjerembap, di sana ada intrik antargeng, di sana ada yang masih disuapi, di sana ada yang sudah lincah lari mandiri. Di taman bermain, kita mencari suka meski tidak semua yang dicari harus ditemukan dalam segera. Kadang di taman bermain kita membuat 'program' kita sendiri walau baru sebatas imaji. ayunan yang membawa kita ke bulan, kereta berupa putar-putaran, prosotan yang membawa kita ke dunia lain, atau tangga-tangga yang kita ubah jadi kastel.
Lalu waktu menuntut kita untuk mencari lebih jauh dengan berbuat lebih banyak. Bahagia yang lebih kompleks. Imaji yang diwujudkan. Asas yang diluhurkan. Jiwa yang membara untuk pengabdian. Hidup yang dituntut produktivitas. CV yang harus diisi agar kelak lulus wawancara kerja.
Lembaga kemahasiswaan menawarkan kita banyak hal: keluarga baru, ritme kerja, program kerja, kecakapan, penempaan mental, dan lain sebagainya.
Lalu dianalisis lah segala rupa kebutuhan, diadakanlah segala macam program kerja. Alasan-alasan kami yang muda-muda ini seringkali begitu idealis. Ingin mengabdi pada masyarakat, ingin mengasah kemampuan wirausaha, ingin mengembangkan rasa cinta pada budaya Indonesia, ingin berprestasi untuk alamamater, dan lain-lain. Idealis at its best, dan itu baik.
Tapi dari kaca mata saya yang sering kali tampak disolatip, saya melihat kecenderungan bahwa taman bermain kita disambangi oleh si itu-itu saja. Atau permainan kita yang tidak bertambah, bahkan beberapa di antaranya sudah tampak karatnya dan tidak lagi diminyaki. Penghuni kolam ikan di taman kita yang juga mungkin sudah tua dan ingin pensiun, sudah lelah di-bully anak-anak yang sibuk melempar batu (dan koin) (,dan teman yang ultah), ke dalam kolam. Mobil-mobil yang parkir di dekat taman kita yang pemiliknya dari dulu mengomelkan itu-itu saja: bola yang membuat mobilnya penyok, debu di kaca yang jadi media gambar (dan tulisan kasar), atau body mobil yang dicorat-coret oleh anak tetangga yang belum matang pikirnya.
Padahal semua mahasiswa berhak merasakan kebermanfaatannya.
Padahal era berganti dan perubahan dinanti.
Padahal kita sudah tahu masalahnya itu-itu saja dari dulu.
Yang harus jadi bahan pikir adalah, lembaga kemahasiswaan ada bukan sekadar untuk jadi event orginizer. Bahkan nama lembaga saja sudah jadi bahan landas bahwa kita ada untuk mengenyangkan lapar. Memenuhi kebutuhan. Bahwa tindak kita bukan untuk mendapatkan upah. Apalagi untuk melanjutkan apa yang tak perlu.
Lembaga kemahasiswaan hadir dengan pengurus yang bergulir. Di tahun A sukses, di tahun B belum tentu. Di tahun A gagal, di tahun B bisa jadi spektakuler. Perguliran kepengurusan setiap tahunnya seharusnya menjadikan lembaga kemahasiswaan selalu tampil segar setiap tahunnya. Meski akibatnya, tidak ada jaminan bahwa di tahun yang baru kepengurusan akan berjalan semakin baik. Personil yang berbeda tentu berakibat pada cara pandang, ritme kerja, cara kerja, dan berbagai aspek lainnya yang berbeda.
Maka untuk menyikapi pergantian tahunan ini, diperlukanlah kaderisasi. Memastikan post-post dalam lembaga diisi oleh orang-orang yang paham visi misi post tersebut. Memastikan orang di dalamnya tidak akan naif mengulangi kesalahan yang pernah dicoba-coba oleh yang terdahulu.
Kaderisasi seringkali diartikan sebagai bentuk pembinaan yang menyasar kelompok atau individu yang spesifik dan ditargetkan akan menggantikan seseorang atau sekelompok orang pada post tertentu. Bentuk kaderisasi bisa apa saja. Diskusi, membangun keresahan, membimbing hal-hal teknis, mengajarkan suatu skill, ngobrol di kantin, membuat seminar, menerapkan sistem transfer wawasan, berbagi file gdrive, melibatkan dalam kerja, dan yang terpenting memberikan keteladanan.
Kaderisasi diperlukan karena kita tidak selamanya hidup di dunia.
Baik diartikan secara langsung maupun tidak, kaderisasi memastikan niat baik kita tidak berbatas diri kita sendiri.
Misal dalam suatu perusahaan yang bermimpi jadi perusahaan nastar terbaik se-jagat. Tentu saja Bapak pemilih perusahaan perlu untuk membimbing seseorang untuk menggantikannya memimpin kelak. Kenapa? karena jika pada suatu hari tetiba ia ingin buka perusahaan kastengel terbaik se-jagat, maka harus ada yang menggantikannya memimpin perusahaan nastar. Dan tidak mungkin hal itu diserahkan pada mas-mas random yang lewat di jalan. Persiapan itu harus ada.
Kaderisasi memberikan arahan pada bakal calon pengisi post-post kita. Memberikan visualisasi mana jalan yang kira-kira berlubang dan yang tidak. Maka memberikan evaluasi-evaluasi terdahulu menjadi penting, agar paling tidak kalau si penerus terpaksa lewat jalan berlubang, ia tahu di mana tambang berada sehingga dapat keluar dari lubang dan kembali berlari.
Dengan itu, detak lembaga terjaga.
Proses evaluasi-analisis-perencanaan-eksekusi-evaluasi membuat jatuh menjadi bangkit dan tidak kian terpuruk.
Dengan itu lembaga bisa melangkah lebih jauh
Tujuan tidak lagi hanya visi misi pemira tahunan
Tapi generasi yang progresif dapat tercipta lewat tujuan-tujuan jangka panjang.
Diskusikan
Lakukan
Petakan
Turunkan.
Agar taman bermain kita bukan hanya sekadar tempat berimaji saja
Tapi dengan berada di sana, warga kompleks akan tenang saja:
"Kalau si adek main di sana mah gapapa atuh, kan aman, lagian anak-anak senang. dari pada di rumah aja malah nonton youtube. ngabisin quota"
selamat bermain.
:)
"mau dibawa kemana lembaga kita?"
tergantung kamu.
Flamboyan dalam pergantian 2016 dan 2017,
-Triana
No comments:
Post a Comment