1 Januari, Tahun baru katanya.
Pagi yang lelap. Raga-raga yang masih bermalas-malasan di tanggal
merah, dan atmosfer sisa asap semalam. Jalanan ibukota masih sepi dari manusia,
namun ramai dengan sampah.
"Tadi malam ada pesta besar" katanya.
"Lalu apa yang baru di tanggal satu? "
Hati ku terguncang.
Tanya yang menghampiri nampaknya selalu saja menohok. Walau raga
ini lemas akibat tidak tidur dari semalam, dan kafein yang perlahan
menggerogoti tubuh, namun nyatanya pesta semalam tak buahkan apa-apa selain
kantuk. Ya, dan mungkin sedikit kekenyangan.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, aku memilih untuk menikmati
malam tahun baru seperti layaknya orang normal. Begadang hingga larut malam,
menonton kembang api di pusat kota, dan bergabung dalam keramaian. Berbeda
dengan aku yang biasanya memilih untuk tidak peduli dengan tahun yang baru,
kecuali sebersit rasa bahagia ketika membuka bungkusan kalender baru. Bagi aku
yang dulu, tanggalan hanya sebuah angka. Orang bilang "tahun baru adalah
lembaran baru" bagi ku sama saja. Bagi ku setiap hari adalah awalan
sekaligus kelanjutan. Atau bila itu terdengar telalu klise maka sebut saja
bahwa bagi ku setiap hari sama saja.
Sama-sama mengejutkan sekaligus membosankan. Atau jika itu terlalu
klise sebut saja "sama saja".
"Ehm.. Roti Bakar?"
"Boleh, selai kacang dan blueberry,"
kata-katanya lagi-lagi menjadi kejutan buat ku.
"Ada yang salah?" Ujarnya membalas kebingungan yang
hadir dari wajah ku
"Bukankah kau selalu meminta selai strawberry?"
"Kamu yang bilang ingin menjadi orang baru di awal tahun ini
bukan? Aku memfatilitasi mu untuk membuatkan sesuatu yang baru pula. Bukankah
kamu harus memasukan ku dalam daftar orang baik setelah ini? dan mengetikan
nama ku dalam follow friday yang
nampaknya akan jadi agenda rutin mu setelah membuat keputusan ini."
Ah, panggil orang itu Ias. Wanita yang dinamis, optimis, tapi
begitu kontra dengan keputusan ku untuk mendaur ulang sifat dan sikap. Mengapa
pula? Bukannya selama ini Ias selalu menjadi wanita yang senang keramaian dan
terpaksa harus pulang sebelum acara selesai demi mengantar ku dengan alasan
yang itu-itu saja: Aku tidak nyaman.
Ia terus berkicau tentang apa yang mungkin akan aku lakukan di
awal tahun ini untuk merayakan kelahiran pribadi ku yang baru. Aku biarkan saja
ia berkicau. Tangan ku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk berdua.
"Ias.."
"Dan kamu mungkin gak akan pernah lagi ngajak aku ke toko
buku cuman demi beli selembar--"
"IAS!"
"Apa nona revolusi?"
"Kamu berisik. Mau kopi atau teh? Follow friday udah gak
populer sejak setahun atau dua tahun yang lalu.
Dan kenapa pula aku dipanggil nona revolusi?"
"Bukankah dalam agenda baru mu berarti kamu akan jadi orang
yang sama berisiknya dengan aku? Teh. Ya baiklah kamu cukup uptodate. Cari aja di Kamus
Besar Bahasa Indonesia mu itu, Ah aku lupa kini kamus itu mungkin akan kamu
loak-kan karena kamu kini akan menjadi orang yang benar-benar baru! Aku beli
kamus mu Re, sepertinya menyenangkan membalas argumen orang lain dengan kamus.
Setidaknya kalau aku gak dapet perlawanan, tinggal aku lemparkan aja kamus itu
hahaha."
Baiklah. Secangkir teh kental dengan gula 1,5 sendok, satu teh
susu, dan 2 tangkup roti bakar. Aku membawa nampan ke meja makan. Masih sambil
membiarkan Ias sibuk dengan kicauan dari dunianya. Ias sepertinya telah selesai
membeberkan seluruh kekhawatirannya yang ia kemas dalam kata-kata untuk membuat
ku menyerah. Tentu saja aku pun tergoda untuk menyerah, siapa pula yang senang
keluar dari zona nyaman?
Ias mengabil 1 tangkup roti. Memotongnya menjadi 4 bagian.
Memainkan satu bagian, urung menyerahkan prosesnya pada sistem pencernaan.
"Re, jadi apa yang baru di tanggal satu?"
"Keyakinan As. Sama seperti tiga hari yang lalu, harapan itu
masih sama."
"Kenapa si Re? Kenapa kamu harus berubah dan gak jadi kamu
apa adanya?"
Aku mengabaikan pertanyaan Ias. Sebuah pertanyaan yang menurut ku
tak perlu ku jawab dengan kata-kata. Bukankah 7 tahun persahabatan telah
memberikannya lebih dari jawaban? Bukankah ia melihat bagaimana dunia
memperlakukan seorang minoritas? Bukankah ia paham bagaimana kacaunya perasaan
ku ketika ide yang begitu cemerlang dalam otak ku harus menguap begitu saja
karena keterbatasan ku dalam berhadapan dengan makhluk bernama manusia?
Tekad ku sudah bulat. Aku ingin memanusiakan diri ku. Biarkanlah
aku terjun ke panggung sandiwara ini, memoles wajah ku dengan kepura-puraan,
setidaknya jika ada orang yang mempertanyakan apa aku ini sebenarnya, maka aku
harap seluruh makhluk bumi menjawabnya tanpa berpikir 2 kali. Karena saat itu
aku adalan manusia, dari sudut pandang mana pun aku akan tetap terlihat sebagai
manusia. Tidak seperti sekarang ketika aku dapat menyamar menjadi debu atau
daun kering, ada untuk tersapu kelak.
Aku menghabiskan sarapan kurang dari 10 menit. Meski sebenarnya
pesta semalam hanya menyisakan sedikit ruangan untuk makan pagi, tapi demi
menghindari pertanyaan Ias -- yang menurut ku tak perlu dijawab -- aku rela
tenggelam dalam kesibukan mengunyah roti bakar.
"Oke, gini ya Reda aku paham maksud kamu. Aku ngerti semua
alasan kamu. Tapi aku gak mau kamu berubah. Aku.."
"Ias, please ini
bukan soal hidup kamu. Ini hidup aku Ias. Aku yang ngerasain betapa gak enaknya
tersingkirkan. Kamu kira aku suka dengan semua perubahan ini?"
"Terus kenapa harus dengan cara ini? Biarkan diri kamu tumbuh
jadi kamu apa adanya. Kalau mereka gak nerima kamu, cari tempat lain. Cari
orang lain. Potensi kamu jauh lebih besar dari semua kekurangan ini."
Itu kalimat terakhir Ias. Selanjutnya ia mengambil tissue, membungkus sarapan paginya,
menghabiskan tehnya, mengucapkan salam, dan pergi. Sejak itu ia tak pernah lagi
menghubungi ku, dan rasa takut ku tumbuh menjadi ego yang membuat ku tak
sanggup mengatakan apa-apa padanya. Apalagi mengetik jejeran huruf yang
berbunyi "maaf".
Sadarkah Ias bahwa kata-katanya sanggup meluluhlantahkan dunia
seorang gadis yang sedang tergila-gila dengan warna merah muda? Ketergila-gilaan
ku akan pengakuan memang jauh lebih tidak cerdas dari itu. Sebut saja “bodoh”
jika kamu memang orang yang tidak mudah tersinggung.
***
1 Januari, Tahun baru katanya.
Pagi yang lelap. Raga-raga yang masih bermalas-malasan di tanggal
merah, dan atmosfer sisa asap semalam. Jalanan kota masih sepi dari manusia,
namun ramai dengan sampah.
Tepat 365 hari kah?
Tidak, malam tadi bukan waktu yang tepat untuk berpesta pora.
Aku terbangun pagi ini tepat pukul 05.00 pagi. Mematikan alarm,
menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, dan seperti ratusan pagi yang
telah lewat air mata ini masih setia membasuhi pipi.
Bagaimana kabar Reda?
Di sela-sela do’a yang kupanjatkan, nama mu kembali menghias
pikiran. Reda. Setahun yang lalu aku meninggalkan mu tanpa keterangan apa-apa.
Tanpa penjelasan apa-apa. Namun sungguh ada banyak hal yang harus ku jelaskan dan
ku terangkan. Andai saja engkau tetap Reda yang sesungguhnya, ingin aku bicara
pada mu bahwa keputusan yang kau pilih bukanlah yang terbaik.
Pernah aku dengar sebuah cerita tentang wanita yang memaksakan
dirinya untuk berubah. Ya, demi sebuah kata indah yang bernama “pengakuan” dan
mimpi bernama “bahagia”. Ia sibuk meyakinkan orang lain bahwa dirinya begitu
layak dipuji atau bahkan dipuja. Ia habiskan hari untuk mengejar harta dan
takhta. Otaknya yang waras kala itu ditutupi oleh kabut tebal, dirinya
bertambah bahagia, bertambah lupa pula. Ia telah lupa akan masa lalu, masa
depan pun tak pula ia tahu. Hingga yang ia hadapi selanjutnya hanyalah penyesalan
yang berlarut.
Bukankah cerita seperti itu sudah banyak diangkat ke FTV?
Mengapa pula kamu masih tidak mau tahu, Reda?
Pikiran ku akan Reda telah menyita 10 menit waktu ku untuk
olahraga pagi. Biarkanlah, toh ini hanya sekali dalam setahun. Aku pun bangun
untuk melipat sajadah. Mengambil ponsel di meja samping tempat tidur. Mengetik
sebaris pesan dan mengirimkannya pada nomor yang sungguh aku hafal, meski
terakhir aku mengetikannya adalah setahun yang lalu. Sungguh hanya itu yang
mampu aku lakukan sekarang ini. Aku kembali meletakkan ponsel. Keluar dari
kamar menuju kamar sebelah. Membuka pintu perlahan, takut si pemilik ruang
terbangun.
Aku melihat lurus ke arah tempat tidur. Sesosok wanita tengah
tidur dengan tenang. Seseorang yang menyaksikan ku tumbuh dan berkembang. Aku
sungguh hanya perlu satu hal untuk merasa bahagia hari ini, aku ingin ia masih
diberikan kekuatan. Untuk sehari lagi mengulur ajal yang begitu dekat.
Aku sungguh sadar Reda, berubah tak selamanya harus didefinisikan
seperti itu. Sebuah definisi yang telah membuat orang lain dalam hidup mu rela
hidup dalam kekhwatiran, yang kibatnya membuat mu tumbuh tua dengan menanggung penyesalan.
Aku harap sebaris pesan ku pagi sampai pada mu Reda,
“Apa yang baru di tanggal satu?”
Semoga jawaban mu membuat hari ku semakin menyenangkan.
Anyway, aku nampaknya setuju dengan prinsip mu dahulu. Nampaknya
setiap hari sama saja. Ah, tak ada bedanya tanggal satu ataupun duabelas. Satu
lagi do’a ku untuk mu Reda, semoga kamu terus menjadi orang baru pada setiap
waktu, bukan mengacu pada tanggal satu. Tentu, mengalami perubahan dalam definisi
yang berbeda. Cari saja di kamus mu itu Reda. Aku harap kamus mu belum kau loak-kan.