Friday, October 25, 2024

Merasakan Perasaan

Salah satu nasihat paling indah akhir-akhir ini, adalah nasihat yang datang dari Iffa. Nasihat yang datang ketika aku mendadak patah hati. Ketika aku cerita melalui pesan teks, Iffa kemudian mengirimkan ku berbagai pesan, tapi yang bagi ku paling berharga adalah pesan ini:

“Rasain sedihnya”

Pesan singkat, dua kata saja, tapi membuat pertahanan ku runtuh sekaligus memudahkan ku membangunnya kembali.

***
Beberapa bulan sebelum kejadian tersebut, aku tertegun ketika membaca sebuah section buku tulisan Bu Brene Brown. Di bagian tersebut, Bu Brene menjelaskan satu poin penting yang intinya begini:

“Ketika merasakan ketidaknyamanan, maka kamu harus berani merasakan perasaan tidak nyaman tersebut.”

Nampak sederhana, tetapi bukan kah lebih menyenangkan jika Bu Brene memperbolehkan kita untuk lari atau memanipulasi perasaan tersebut dengan melakukan hal-hal lain yang lebih menyenangkan?

Di antara banyaknya pelajaran dari Bu Brene di dalam bukunya, “Imperfection”, bagian ini yang menurut ku paling tidak menyenangkan untuk dipraktikkan. 

Bayangkan jika kamu harus berhadap-hadapan dengan kecemasan mu, merasakan napas mu yang tercekat, tangan mu yang bergetar, dan air mata mu yang tertahan di pelupuk mata.
 
Bayangkan jika kamu harus menyaksikan diri mu sedih. Wajah mu yang bengap bercucuran air mata, hati mu yang gamang, pikir mu yang terus-menerus menyalahkan diri mu sendiri, dan kamu harus dengan jujur merasakan sesaknya.

Bukan kah lebih enak lari saja?

***
Pesan Bu Brene berharga, ia mengajarkan ku untuk tidak lari dari ketidaknyamanan. Untuk mengakui bahwa aku memang manusia yang dilengkapi dengan perasaan. Untuk menjaga marwah dari setiap emosi ku, sehingga aku awas dan berfungsi.

Namun, ruang yang Iffa berikan untuk ku merasakan sedih ku, bukan hanya menjadi pengingat agar aku tidak menekan emosi tersebut untuk kemudian meledak. Dua kata sederhana itu mengandung makna yang jauh lebih dalam bagi ku. Ia memberikan ruang yang lapang bagi ku untuk jadi “Triana yang sedang sedih”, sekaligus mengandung kepercayaan bahwa aku pasti bisa menghadapi semuanya. 

Sejak reminder itu, sudah puluhan atau ratusan emosi yang silih berganti memasuki hati ku. Dan ketika aku awas dalam melabelinya, aku kemudian berkata pada diri ku sendiri “yaudah yuk, rasain sedihnya/rasain cemasnya/rasain marahnya”. Tidak menyenangkan, tapi aku dan ketidaknyamanan tersebut kini mulai akrab.