Bismillahirrahmanirrahim,
Salam sejahtera readers 🙂
Saya sudah lama sekali tidak menulis blog yang ditujukan untuk berbagi, seringnya hanya sekadar menjadi ruang refleksi untuk saya baca lagi dan lagi. Tapi salah satu online course yang kemarin saya ikuti memantik saya untuk kembali menulis. Sebuah topik course yang terlihat sangat dasar, tapi saking dasarnya bisa jadi ia begitu fudamental. Nama couse-nya: developing a learning mindset. Course tersebut saya akses dari LinkedIn learning, kebetulan saya sedang dapat free-trial 😀
Banyak hal menarik dari course tersebut, salah satunya adalah bahwa ketika kita belajar, kita akan mendapatkan 3 skill. Apa saja 3 skill tersebut?
- Knowledge
- Transferable skill
- Traits
Mari kita bahas satu persatu
KNOWLEDGE
Knowledge adalah pengetahuan. Sebagaimana artinya secara harfiah, pengetahuan yang kita dapatkan saat belajar, itulah skill yang kita dapatkan. Hal ini menyebabkan semakin beragam atau semakin dalam ilmu yang kita timba, semakin banyak pula pengetahuan yang kita punya.
Misalnya, saya instructional designer untuk perguruan tinggi, saya setiap hari berkutat untuk membuat media pembelajaran berbagai bidang ilmu. Manajemen, data science, IT, SI, akutansi, dan hukum. Tentunya sembari saya bekerja, saya mendapatkan beragam informasi dari materi-materi tersebut. Suatu benefit bagi saya yang kuliah biologi, karena dari sini saya lebih paham bagaimana dunia sosial dan teknologi bekerja. Meskipun demikian, pengetahuan yang saya dapat saat bekerja baru potongan-potongan saja, karena memang cara saya mendapatkannya adalah melalui cara seorang generalis: banyak hal tetapi tidak mendalam.
Anda pun pasti begitu. Dunia kerja atau sekolah yang Anda hadapi bisa jadi cukup umum, sebagaimana yang saya hadapi, atau bisa jadi Anda bekerja di dunia spesialis. Misalnya:
Seorang akuntan mungkin sangat menguasai pengetahuan-pengetahuan di bidang akuntansi.
Seorang sopir bus mungkin hafal luar dalam mengenai trek yang ia lewati atau tahu banyak hal tentang playlist lagu yang bikin tidak ngantuk selama perjalanan antarkota.
Seorang ahli fikih tentunya sudah mengetahui banyak kaidah fikih dari proses pembelajaran yang ia lakukan.
2. TRANSFERABLE SKILL
Poin kedua ini adalah yang paling menarik untuk saya.
Transferable skill adalah keterampilan yang kita pelajari dari suatu proses belajar (misalnya saat di sekolah), tetapi bisa digunakan di dalam fragmen hidup lain (misalnya saat bekerja). Misalnya, menurut salah satu artiker di forbes, tranferable skill yang dapat bermanfaat untuk mengubah karier adalah teknikal, komunikasi, berpikir kritis, multitasking, kerja tim, kreativitas, dan kepemimpinan.
Sebagai contoh, ketika sekolah dulu saya banyak melakukan praktikum. Praktikum di kampus saya umumnya dilakukan dalam tim, sehingga kami harus melakukan pembagian tugas. Meskipun praktikum tersebut adalah praktikum fisiologi tumbuhan, genetika, atau ekologi, ilmu yang saya dapatkan dari situ bukan hanya pengetahuan soal bagaimana benda-benda alami tersebut bekerja. Saya juga otomatis belajar tentang kerja tim, bagaimana memimpin, dan bagaimana dipimpin.
Keterampiln bekerja tim, kepemimpinan, dan menerima instruksi ini adalah sesuatu yang dapat saya gunakan lagi di fragmen kehidupan lain. Misalnya di dalam organisasi kemahasiswaan, dalam dunia profesi, atau hopefully sampai nanti saat saya berumah tangga, bermasyarakat, dan berkarier kedepannya.
Hal yang menarik dari bagian transferable skill ini adalah karena saya sering kali berpikir kenapa saya bisa-bisanya ada di profesi instructional designer (ID). Mengingat, latar belakang pendidikan saya adalah sains murni. Bukannya merasa lulusan sains murni tidak bisa berkiprah di ranah lain ya, saya justru sering kali merasa bersyukur pernah menimba ilmu sains murni bertahun-tahun lamanya, dan kemudian baru tercebur di dunia ID. Mengapa demikian? karena saya rasa, 4,5 tahun digembleng menjadi saintis membuat saya terbiasa mempertanyakan banyak hal. Di dunia ID, keterampilan ini saya rasa cukup penting. Paling tidak untuk memvalidasi apakah materi atau kuis yang di-submit oleh SME (subject matter expert, ahli dalam bidang ilmu course yang saya kembangkan) sudah tepat.
Selain itu, saya merasa salah satu hal yang membuat saya menyenangi pekerjaan saya sebagai ID adalah karena waktu SMP saya ‘dipaksa’ menulis blog! Ya, ‘dipaksa’ oleh tugas Bahasa Indonesia untuk menulis sebanyak-banyaknya di blog. Yang baru saya sadari kemudian, setelah bertahun lamanya lulus SMP adalah: menulis blog membuat saya terbiasa men-design alur cerita, melakukan riset mengenai konten yang ingin saya tulis, memikirkan apakah pembaca akan nyaman membaca tulisan tersebut, dan mungkin masih banyak lagi. Saya juga jadi tertantang untuk belajar membuat ilustrasi dan fotografi, sekadar agar blog saya semakin cakeup.
Setelah ikut course ini, saya menduga bahwa keterampilan design, riset konten, dan memikirkan user experience dari kebiasaan saya menulis blog, bertahun-tahun silam, adalah transfarable skill yang saya gunakan kembali di dalam karier saya.
3. TRAITS
Menurut Garry Bolles, instruktur di dalam course tersebut, traits adalah keterampilan yang dapat digunakan untuk manajemen diri. Misalnya, manajemen emosi, manajemen waktu, fokus, mindfulness, dsb. Misalnya, kembali saya ambil contoh praktikum semasa kuliah. Praktikum tersebut akan memberikan saya data yang harus diolah dan dilaporkan dalam laporan praktikum. Laporan praktikum yang harus saya kerjakan dalam satu pekan bisa berjumlah 2-3, bahkan bisa 5 kalau lagi sibuk-sibuknya. Maka saya pun mendapatkan keterampilan menajemen waktu dari kegiatan-kegiatan praktikum tersebut.
Kemampuan manajemen waktu tentunya bisa saya aplikasikan kembali di dalam fragmen hidup lain, apalagi ketika saya harus melakoni beberapa peran dalam satu waktu.
Ternyata, dalam satu kali kita belajar, baik sekadar iseng menamatkan satu buah course atau bahkan dari menjalani suatu profesi bertahun-tahun, kita bisa mendapatkan keterampilan berupa knowledge dan mengasah keterampilan lain, yaitu tranfarable skill dan traits.
Sekarang saya mulai paham alasan dibalik humble-nya dosen-dosen dan guru-guru cerdas yang saya temui. Dan bahwa saya harus lebih jeli untuk melihat ilmu lebih dari sekadar barisan-barisan informasi belaka.